Senin, 15 November 2010
di cari terapis wicara (tw)
Rabu, 10 November 2010
Penanganan nyeri dalam bidang obstetri
Penanganan nyeri dalam bidang obstetri
Nyeri dalam bidang obstetri adalah nyeri yang ditimbulkan selama proses melahirkan, merupakan refleksi individu terhadap berbagai rangsangan yang diterima secara unik dan diintepretasikan berbeda-beda pada tiap individu, dipengaruhi oleh emosi, motivasi, kognitif, sosial dan budaya.
Nyeri pada kala I sebagian besar ditimbulkan dari uterus. Serabut saraf sensoris dari uterus, serviks, dan bagian atas vagina berjalan melintasi ganglion Frankenhäuser yang terletak pada lateral serviks, ke pleksus pelvik dan kemudian ke pleksus iliaka interna medial dan superior, selanjutnya bersama dengan saraf simpatis lumbal dan bagian bawah torak memasuki sumsum tulang belakang pada T10-12 dan L1. Pada awal kala I, nyeri dari kontraksi uterus terutama melalui T11-12.
Saraf motorik dari uterus berasal dari T7-8. Secara teoritis, metode yang dapat memblok saraf sensorik tanpa memblok saraf motorik, dapat digunakan sebagai penghilang nyeri selama melahirkan.
Gambar 1. Jalur rasa nyeri pada proses persalinan
Nyeri saat melahirkan pervaginam berasal dari rangsang pada traktus genitalia bawah melalui nervus pudendus yaitu nervus yang mempersarafi perineum, anus, bagian medial dan inferior vulva dan klitoris. Nervus pudendus berjalan melewati bagian bawah permukaan posterior ligamen sakrospina pada perlekatan dengan spina ishiadika. Serabut saraf sensorik dari nervus pudendus masuk ke S2-4.
Terdapat berbagai metode dalam penanganan nyeri selama melahirkan, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana metode tersebut dapat mengurangi intensitas nyeri tanpa membahayakan ibu dan janinnya.
Metode Penanganan Nyeri pada Proses Melahirkan
Non medikamentosa
- Stimulasi saraf elektrik transkutaneus (TENS- transcutaneus electrical nerve stimulation)
- Teknik bernafas/ relaksasi
- Terapi fisik
- Modulasi suhu : dingin atau panas
- Hipnosis
- Pijat
- Akupunktur
- Aromaterapi
Medikamentosa sistemik
- metode inhalasi
- analgetik sistemik
- Analgetik opioid (meperidin, morfin, fentanil, sufentanil, alfentanil, remifentanil)
- Analgetik non –opioid
analgetik agonis-antagonis (Nalbuphine, Butarphanol, Tramadol)
penenang sedatif (Barbiturat, turunan Fenotiazin, Benzodiazepin)
obat-obat disosiatif (Ketamin, Skopolamin)
Medikamentosa regional
- analgetik epidural lumbal
- CSEA
- CSA
- teknik alternatif anestesi regional (blok simpatik lumbal, blok pudendal, blok paraservikal)
Penanganan Non Medikamentosa
Keuntungan dari tehnik non medikamentosa adalah mudah digunakan, cepat tersedia dan efek samping yang minimal. Namun belum tersedia banyak bukti yang mendukung keefektifan metode-metode yang ada. Rasa takut dan rasa tidak mengerti dapat memicu rasa nyeri, karena itu diperlukan pemberian informasi mengenai fisiologi proses melahirkan dan pengenalan staf yang akan menolong. Menurut Melzack (1984) dan Saisto (2001), apabila seorang wanita dipersiapkan untuk proses melahirkan, rasa nyeri dan kuatir selama proses melahirkan akan berkurang secara bermakna dan waktunya dapat menjadi lebih pendek. Rasa nyeri dapat dikurangi dengan relaksasi pernafasan dan didampingi oleh keluarga terdekat.
TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)
Elektroda dipasang 2 cm dari dermatom T10-L1 pada kedua sisi dari prosesus spinosus untuk memberikan efek analgetik pada kala I. Sepasang elektroda lain dipasang pada dermatom S2-4 untuk menghilangkan nyeri pada kala II. Secara teoritis, transmisi rasa nyeri lewat serabut A dan pelepasan β-endorfin dapat diblok dengan cara ini.
Akupunktur
Jarum akupunktur dimasukkan sedalam 2,5-3 cm dan diberikan arus listrik aliran rendah sebesar 2-3 Hz. Efek analgetik didapatkan melalui pelepasan endorfin atau serotonin dan metensefalin.
Metode Inhalasi
Pemberian 50% nitrat oksida (N2O) dengan oksigen dapat memberikan efek analgetik, diberikan hanya pada saat kontraksi dan diluar kontraksi, dianjurkan untuk bernafas secara normal. Dijelaskan kepada pasien bahwa nyeri tidak dapat menghilang seluruhnya namun gas ini dapat mengurangi rasa tidak nyaman.
Isofluran dan halotan merupakan gas anestesi yang dapat menimbulkan relaksasi uterus apabila diberikan dalam konsentrasi tinggi. Umumnya diberikan pada situasi khusus seperti versi luar pada anak kembar kedua dan pengembalian posisi uterus yang inversi. Setelah tindakan tersebut, gas harus langsung dihentikan karena efek kardiodepresan dan hipotensif dari gas anestesi tadi dapat menimbulkan efek samping pada ibu yang sudah dalam keadaan hipovolemik.
Analgesia Sistemik
Meperidine dan Prometazin
Meperidin, 50-100 mg dengan prometazin, 25 mg, diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, efek analgetik akan timbul dalam 30-45 menit. Efek yang lebih cepat akan didapatkan bila meperidin diberikan secara intravaskular 25-50 mg setiap 1-2 jam. Meperidin dapat melintasi plasenta dan waktu paruhnya di neonatus adalah 13 jam atau lebih.
Butorphanol
Butorphanol 1-2 mg setara dengan Meperidin 40-60 mg. Efek samping yang utama adalah pusing, disforia, dan somnolen. Depresi pernafasan pada neonatal lebih jarang terjadi dibandingkan dengan Meperidin.
Fentanil
Opioid sintetik ini merupakan analgetik yang sangat poten dan memiliki masa kerja yang singkat, diberikan dalam dosis 50-100 μg intravena setiap jam. Kerugiannya yang utama adalah masa kerjanya yang sangat singkat
Analgesia Regional
Beberapa obat anestesi lokal yang umum digunakan pada bidang obstetri dapat dilihat pada tabel 2. Penggunaannya membutuhkan pengawasan untuk melihat timbulnya efek samping dan penangan segera. Toksisitas tidak hanya timbul akibat pemberian intravena namun juga pada dosis yang terlalu besar. Toksisitas yang terjadi umunya mengenai sistem saraf pusat dan kardiovaskuler.
Toksisitas Sistem Saraf Pusat
Gejala awal berupa stimulasi, namun seiring meningkatnya kadar serum, timbul gejala depresi. Gejala berupa pusing, tinitus, rasa metalik dan mati rasa pada lidah dan mulut. Pasien menunjukkan perilaku aneh, bicara pelo, fasikulasi otot, kejang dan diikuti dengan penurunan kesadaran. Suksinilkolin dapat mengatasi kejang dan memungkinkan dilakukan pemasangan intubasi. Tiopental dan diazepam dapat mencegah kejang. Denyut jantung janin abnormal seperti deselerasi atau bradikardi persisten dapat timbul akibat hipoksia maternal dan asidosis laktat akibat kejang. Dengan menghilangnya kejang dan pemberian oksigen, keadaan fetus akan membaik.
Toksisitas Kardiovaskuler
Umumnya gejala toksisitas sistem saraf pusat timbul lebih dahulu dibanding toksisitas kardiovaskuler. Gejala toksisitas kardiovaskuler timbul pada dosis yang lebih tinggi kecuali pada bupivakain. Sama dengan toksisitas sistem saraf pusat, pada awal timbul stimulasi yang diikuti dengan depresi, yaitu hipertensi dan takikardi, diikuti dengan hipotensi dan aritmia yang akan menurunkan perfusi uteroplasental dan menimbulkan fetal distress. Hipotensi diatasi dengan pemberian kristaloid dan efedrin intravena. Seksio sesarea perlu dipertimbangkan apabila henti jantung tidak dapat diatasi dalam waktu 5 menit.
Blok Pudendus
Metode ini umumnya aman dan sederhana untuk persalinan pervaginam. Dilakukan pemberian 3 ml lidokain pada ligamen sakrospina dan 3 ml lagi pada daerah dibelakang ligamen ini dan 10 ml pada mukosa diatas spina ishiadika, hal ini dilakukan pada kedua sisi. Dalam 3-4 menit, bagian bawah vagina dan posterior vulva sudah tidak dapat merasakan nyeri. Hal ini dapat digunakan untuk episiotomi dan penjahitannya, namun tidak untuk tindakan manipulasi obstetrik.
Komplikasi yang dapat timbul selain toksisitas seperti yang telah dibahas diatas adalah pembentukan hematoma dan infeksi.
Blok Paraservikal
Metode ini umumnya dapat menghilangkan nyeri pada persalinan kala I namun karena nervus pudendus tidak diblok, maka dibutuhkan tambahan analgesia untuk kala II. Umumnya digunakan lidokain atau kloroprokain, 5-10 ml dengan konsentrasi 1% dan diinjeksikan pada bagian lateral serviks. Bupivakain tidak dapat digunakan karena resiko kardiotoksisitasnya.
Komplikasinya berupa fetal bradikardi yang terjadi pada 15% kasus. Bradikardi dapat terjadi dalam 10 menit dan dapat bertahan hingga 30 menit. Beberapa peneliti menyatakan bahwa bradikardi bukan merupakan tanda asfiksia fetus karena umumnya bayi lahir dalam keadaan baik. Namun ada pula yang menyatakan bahwa kadar pH darah dari pembuluh darah otak dan nilai APGAR didapatkan rendah, bahkan ada beberapa fetus yang meninggal. Hal ini dapat disebabkan karena masuknya obat anestesi ke dalam peredaran darah fetus dan menimbulkan efek depresi pada denyut jantung janin. Karena itu sebaiknya metode ini tidak digunakan bila terdapat resiko keadaan janin yang tidak baik.
Blok spinal (subaraknoid)
Dilakukan dengan pemberian obat anestesi ke dalam ruang subaraknoid. Keuntungannya meliputi waktu yang singkat, onset yang cepat dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada wanita hamil, ruang subaraknoid mengecil sehingga pembesaran pleksus vena vertebre internal dengan volume dan jumlah obat anestesi yang sama, akan menghasilkan blok yang lebih tinggi dibanding wanita biasa.
Blok spinal bagian bawah umumnya digunakan pada proses kelahiran dengan forseps atau vakum, yaitu pada dermatom T10, setinggi umbilikus. Blok pada tingkat ini akan menghilangkan nyeri saat kontraksi uterus. Beberapa jenis obat anestesi dapat digunakan, diantaranya adalah lidokain yang diberikan dengan cairan hiperbarik. Bupivakain dengan dosis 10-12 mg dalam 8,5% cairan dekstrose menghasilkan anestesi yang baik pada bagian bawah vagina dan perineum selama 1 jam, diberikan saat telah terjadi pembukaan serviks yang lengkap.
Komplikasinya berupa hipotensi, pusing, kejang, infeksi (araknoiditis dan meningitis), dan gangguan berkemih.
Kontra indikasi meliputi hipotensi maternal refrakter, koagulopati maternal, bakteremia, infeksi kulit pada tempat suntikan dan peningkatan tekanan intrakranial.
Analgesia Epidural
Dilakukan dengan pemberian obat anestesi pada ruang epidural atau peridural yang berisi jaringan areolar, lemak, limfatik, dan pleksus vena internal. Pembuluh darah ini membesar selama kehamilan dan menyebabkan volume ruang epidural berkurang. Dapat diberikan melalui satu kali suntikan atau melalui kateter secara terus menerus.
Untuk menghilangkan nyeri selama kala I dan II, dilakukan blok pada dermatom T10-S5.
Komplikasi berupa hipotensi, total blok spinal, stimulasi sistem saraf pusat, demam, dan nyeri punggung. Beberapa peneliti melaporkan bahwa analgesia epidural memperpanjang masa persalinan dan meningkatkan kebutuhan akan stimulasi oksitosin.
Kontra indikasi berupa perdarahan, infeksi pada tempat suntikan, dan kecurigaan akan kelainan sistem saraf.
Tehnik Kombinasi Spinal-Epidural
Metode ini semakin populer dan memungkinkan analgesia yang cepat dan efektif, baik untuk persalinan pervaginam maupun seksio sesarea. Sesuai gambar 6, sebuah jarum ditempatkan pada ruang epidural dan sebuah jarum lain yang lebih kecil ditempatkan pada ruang subaraknoid, ini disebut sebagai tehnik jarum melalui jarum. Analgetik opioid kombinasi dengan obat anestesi lokal disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid dan jarum spinal ditarik dan keteter epidural dipasang. Penggunaan opioid pada ruang subaraknoid adalah untuk menimbulkan efek analgesia secara cepat dan dilanjutkan melalui kateter epidural untuk mempertahankannya.
SHORT WAVE DIATHERMI (SWD)
SHORT WAVE DIATHERMI (SWD)
SHORT WAVE DIATHERMI
Dalam beberapa dekade terakhir atau lebih, banyak profesional medis telah menemukan bahwa ada beberapa cara untuk membantu pasien mereka dalam penyembuhan tanpa menggunakan atau dengan membatasi penggunaan obat penghilang rasa sakit yang digunakan dalam jangka panjang. Hal-hal seperti terapi pijat, stimulator neuromuskuler, dan terapi ultrasound telah merevolusi cara komunitas medis dalam membantu penyembuhan pasien. Jenis teknologi lain yang telah menunjukkan nilai riil dalam bidang klinis adalah diatermi gelombang pendek. Metode ini berfungsi untuk mengendalikan rasa sakit dan meningkatkan aliran darah ke daerah-daerah otot yang rusak dengan tindakan panas yang sampai ke dalam jaringan (deep heat). Dalam hubungannya dengan obat-obatan berbasis non terapi, diatermi gelombang pendek dapat membantu sejumlah besar pasien dengan berbagai tingkat cedera serta berbagai jenis cedera. Melihat lebih dekat pada praktek kita berharap bahwa diatermi gelombang pendek ini bisa dimasukkan sebagai bagian dari teknologi medis
SWD adalah Suatu alat terapi yang menggunakan pemanasan yang pada jaringan dengan merubah energi elektromagnet menjadi energi panas.
I. PRINSIP KERJA
Gelombang radio dilemahkan saat melewati jaringan, tetapi sesungguhnya dapat menembus jaringan sampai dalam tergantung dari jaringan yang dilewati, frekuensi dan karakteristik dari aplikator. Aplikator induktif meningkatkan pusaran medan magnet di jaringan, dan sebagai pengatur dan penghasil temperature tinggi di jaringan yang kaya akan cairan, menginduksi dengan tinggi jaringan seperti otot. Kapasitator melengkapi aplikator yang meningkatkan panas dari medan listrik. Temperatur maksimal cenderung muncul pada jaringan yang kurang kandungan cairan seperti lemak, dan dapat memungkinkan untuk membakarnya. SWD dapat meningkatkan suhu lemak subkutan sampai 15oC dan pada kedalaman kedalaman 4-5 cm dengan panas 4oC- 6oC. Mesin SWD dapat menghasilkan pulsa sama baiknya dengan Continous Wave output. CW SWD digunakan apabila tujuan dari terapi adalah untuk memanaskan.
Mesin SWD pada dasarnya adalah sebuah radio transmitter yang dioperasikan seperti radio transmiter lainya. Pasien diletakan mesin dan dilindungi dari luka dengan mengoperasikan sirkuit dengan rangsangan maksimum, seperti mesin automatis pada mesin SWD yang modern. Sekali rangkaian maksimal dikerjakan, pergerakan mesin dapat mengurangi panas.
Ada beberapa jenis aplikator inductive. Drum aplikator terdapat pada container yang kaku, yang mana beberapa diantaranya terhubung dengan penggantung untuk dilalui mengelilingi region seperti bahu. Pada aplikator umumnya sudah tersedia, keset kaki semi fleksibel mengandung coil yang terhubung dengan sebuah mesin swd. Pad dapat berdimensi 0.5x0.75 m dan sering digunakan pada low back pain. Kabel aplikator mengandung kabel yang terbungkus karet yang digunakan dengan mengelilingi sekitar ekstremitas dan mengelilingi seluruh tubuh. Untuk keamanan dari kabel dapat diganti dengan drums dan pads.
Pada kebanyakan pengaturan kapasitas, pasien diletakan diantara dua elektroda. Aplikator rectal dan vagina digunakan sebagai probe untuk pemanasan pelvis. Probe diletakan dengan hati-hati, vaginal probe diletakan dibelakang servix pada fornix posterior dan eksternal pad digunakan untuk melengkapi sirkuit. Probe yang di tahan oleh pasien dan sekarang jarang digunakan meskipun dulu digunakan untuk penyakit pelvic inflamatori disease, cronic prostatitis, dan mialgia dinding pelvis.
II. BAGIAN-BAGIAN DIATERMI
Penghasil Short Wave Diatermi. Gelombang radio pada pita gelombang pendek berfrekuensi antara 10 Mhz sampai 100 Mhz. Gelombang yang digunakan pada sort wave diatermi untuk fisioterapi pada frekuensi 27,12 Mhz, dengan panjang gelombang lebih dari 11 m. Ada 2 sirkuit utama yang digunakan:
a. Sirkuit mesin, bertugas menghasilkan arus frekuensi tinggi dan meningkatkan intensitasnya.
b. Sirkuit pasien, dihubungkan dengan sirkuit mesin dengan inductor dan mengalirkan energi listrik ke pasien dalam bentuk medan elektrostatik ataupun elektromegnetik.
Medan Elektrostatik. Pada metode medan kondensor, medan elektrostatik di buat dengan memasukan jaringan pasien pada sirkuit pasien sebagai bagian dari condenser. Dua electrode digunakan, dengan jarak antara elektrode dan kulit.1
Peningkatan arus dengan frekuensi tinggi digunakan pada elektrode. Medan listrik, yang timbul didekat objek yang sedang di terapi akan terkonsentrasi diantara dua elektroda. Pada jaringan pasien yang terdapat antara dua elektroda, medan akan terkonsentrasi antara di jaringan. Medan Elektromagnet. Pada metode induktotermi, electrode yang digunakan kabel tipis tertutup yang dilengkapi dengan sirkuit dari mesin. Kabel dirangkai tertutup berhubungan dengan jaringan dipisahkan oleh jarak.
Sebagai arus dengan frekuensi tinggi yang teradapat di kabel suatu medan elektromagnet dipasang mengelilingi pusat dari kabel, yang mana ketika medan elektrostatik dipasang diantara ujungnya. Karena didekat jaringan pasien, dua medan akan terkonsentrasi di jaringan.
III. EFEK PANAS DARI DIATERMI
Kemampuan dari sebuah alat diatermi untuk menghasilkan panas di jaringan tergantung dari besarnya energi yang dihasilkan dari panas. Untuk alat SWD yang berkerja kontinyu energy panas yang dihasilkan berkisar anatara 55-500 W. Energi yang dihasilkan dari diatermi sangat adekuat, karena kebanyakan SWD digunakan untuk meningkatkan suhu dijaringan dengan terapi range yang ekfektif berkisar antara 40oC -44oC, energy yang deperlukan berkisar antara 80-120 W. Meskipun range dari puncak arus energy yang dihasilkan dari alat short wave diatermi berkisar antara 100-1000W, potensi dari menghasilkan efek panas pada alat ini tergantung dari energy utama yang disalurkan ke jaringan dengan secara berturut-turut. Seperti telah disebutkan diawal, energy utama tertinggi yang dapat disalurkan pada pulsasi SWD (80W) lebih rendah dibandingkan dengan energy yang dihasilkan dari pemakaian kontinyu SWD secara berkelanjutan untuk pengobatan.2
Efek dari pemanasan SWD terhadap arus darah kulit pada manusia telah dipelajari di Millard, yang menunjukan pembuangan dari sodium radioaktif meningkat sekitar 150 % setelah pemaparan, yang dihasilkan dari rata-rata peningkatan suhu sekitar 5.3oC. Pada penelitian yang sama rasio muscle –clearence meningkat sebesar 36%, dengan peningkatan suhu otot sekitar 5.2oC. Pada penggunaan 2450 Mhz microwave diatermi menghasilkan peningkatan aliran darah otot vastus lateralis sebesar 400%. Ini semua akan muncul setelah pemaparan selama 8 menit dengan energi yang dihasilkan disesuaikan pada tingkat kenyamanan pasien.2
Efek dari penggunaan SWD pada sirkulasi lutut meningkat sebesar 100 %, sesuai penelitian Harris mengenai clearance radio-sodium dari sendi lutut. Sama seperti penggunaan SWD untuk pengobatan kronik rheumatoid di lutut menunjukan peningkatan sirkulasi sekitar 60%, yang mana pada kebanyakan pengobatan akut rheumatoid lutut didapatkan penurunan dari sirkulasi. Penurunan ini di bandingkan dengan penurunan sirkulasi pada pengobatan dengan hidrokortison. Haris mengatakan SWD dapat digunakan secara rasional pada pemanasan ringan terapi di rematoid arthritis dengan inflamasi akut dari sendi.2
Pada umumnya, energy dari medan elektromagnetik alat wave diatermi diikuti oleh penigkatan panas pada organ dalam dibandingkan dengan penggunaan pada alat pemanasan yang superficial. Logikanya pada pemilihan SWD atau MWD akan tepat ketika keinginan hasil pengobatan untuk menigkatkan kelenturan jaringan kolagen yang dalam, penurunan kekakuan sendi, menghilangkan nyeri yang dalam dan kekakuan otot, peningkatan aliran darah dan diikuti dengan resulusi inflamasi.
Efek terapi dari diatermi dapat digunakan untuk pengobatan organ dalam maupun luar.
Nyeri: Penghilang nyeri menggunakan ShortWave diatermi berguna pada pengobatan traumatic dan kondisi rematik yang mempengaruhi bagian permukaan dari otot, ligament dan sendi kecil bagian permukaan. Penghilang nyeri juga dipengaruhi oleh hilangnya kekakuan otot.
Keram Otot: Dapat di kurangi secara langsung menggunakan SWD atau dapat berkurang karena hilangnya nyeri.
Penyembuhan Luka: Untuk memicu penyembuhan luka dari luka terbuka, dan meningkatkan dari sirkulasi pembuluh darah kulit. Apabila ateriol ataupun capiler tidak dapat meningkat secara signifikan maka pemanasan dapat diberikan pada bagian proximal luka yang masih baik aliran darahnya.
Infeksi : Pengobatan SWD dapat digunakan untuk membantu mempercepat penyembuhan akibat infeksi dengan meningkatkan aliran darah pada daerah yang terkena infeksi. Ini akan meningkatkan sel darah putih dan antibody untuk melawan organism infeksi
Fibrosis :Pemanasan telah terbukti dapat memperbaiki kelenturan jaringan yang mengalami fibrosis, seperti pada tendon, kapsul sendi.
IV. EFEK SAMPING PENGGUNAAN SWD
Beberapa pasien mungkin mengalami luka bakar dangkal. Karena terapi melibatkan panas, maka penggunaannya perlu hati-hati untuk menghindari luka bakar, khususnya pada pasien yang cedera dan telah terjadi penurunan sensitivitas terhadap panas. Selain itu, diatermi dapat mempengaruhi fungsi alat pacu jantung dan pasien wanita yang menerima perawatan di punggung bawah atau daerah panggul dapat mengalami peningkatan aliran menstruasi.
Selasa, 09 November 2010
Autis Bisa Disembuhkan
Kamis, 8 April 2010 | 15:02 WIB
Oleh TATI NURHAYATI
Istilah autis mulai diperkenalkan oleh Leo Kanner pada 1943. Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Artinya, penyandang autisme asyik dan seakan-akan berada dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan gangguan proses perkembangan yang ditandai dengan keterlambatan perkembangan kognitif, konsentrasi, perilaku, bahasa, motorik, sosial, dan emosi.
Anak autis akan sulit melakukan kontak mata dengan orang lain. Mereka lebih tertarik pada benda daripada manusia. Maka, tidak mengherankan melihat anak autis asyik dengan mainannya daripada ikut bermain dengan teman atau keluarganya. Beberapa anak autis mempunyai perilaku mengoceh, ekolali (membeo atau meniru ucapan orang lain), melakukan gerakan motorik yang berulang-ulang (misalnya mengepak-ngepakkan tangan), menyakiti diri sendiri, atau bahkan menyakiti orang lain. Sebagian juga mempunyai minat dan kegiatan yang monoton dan hiperaktif (tidak bisa duduk dengan tenang).
Sampai sekarang penyebab autisme belum pasti. Namun, beberapa teori mengatakan, penyebabnya mulai dari faktor genetika (keturunan), infeksi jamur, sampai virus. Kekurangan nutrisi dan oksigen, polusi udara, air, dan makanan pada saat kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak bayi yang selanjutnya memungkinkan terjadinya autisme.
Banyak orangtua yang mempunyai anak autis bertanya-tanya, "Akan sembuhkah anakku?". Secara anatomis anak autis mengalami kelainan pada otak sehingga mengganggu proses perkembangan anak. Kelainan anatomis pada anak autis ini menurut ilmu kedokteran tidak dapat disembuhkan. Namun, autisme bukan harga mati untuk para orangtua yang memiliki anak autis. Sebab, seperti halnya anak normal, anak autis juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tentu saja proses pengembangannya tidak semudah atau secepat anak normal.
Dengan beberapa terapi, anak autis memungkinkan berkembang ke arah yang lebih baik. Perilaku anak autis yang oleh kebanyakan orang anggap aneh pun bisa dikurangi dan ditangani. Salah satu terapinya adalah terapi perilaku (behavior therapy).
Metode ABA
Terapi perilaku adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan mengurangi perilaku yang tidak wajar, kemudian menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima masyarakat.
Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar terapi perilaku adalah melatih kepatuhan. Kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi lain, seperti terapi wicara, terapi okupasi, dan fisioterapi. Sebab, tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil. Meski demikian, ternyata masih banyak tempat terapi anak autis atau anak berkebutuhan khusus lain yang tidak menyediakan terapi perilaku sehingga hasilnya tidak efektif.
Salah satu metode terapi perilaku adalah metode applied behavior analysis (ABA). Metode ini dipilih karena memiliki ciri terstruktur, terarah, dan terukur sehingga memudahkan terapis atau orangtua memantau perkembangan anak. Metode ABA ini ditemukan oleh seorang psikolog Amerika, O Ivar Lovaas Phd, sehingga metode ini juga sering disebut dengan metode Lovaas.
Tujuan metode ini adalah mengubah perilaku. Perilaku yang ditargetkan untuk berubah selalu dipilih dan dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. Norma atau perilaku ini disesuaikan dengan norma yang ada dan berlaku di masyarakat.
Teknik pelaksanaan ABA menggunakan pendekatan yang bersifat individual. Satu anak ditangani satu terapis, bahkan jika diperlukan didampingi juga oleh tenaga prompting yang membantu anak untuk mengarahkan perilaku yang diinstruksikan terapis. Dalam pengajarannya, ABA mengambil prinsip operant conditioning dan respondent conditioning. Perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem hadiah dan hukuman.
Jika perilaku yang diinginkan muncul, anak akan diberi hadiah. Apabila yang muncul adalah perilaku yang tidak diinginkan, anak akan mendapatkan hukuman. Pemberian hadiah dan hukuman ini akan berpengaruh pada frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Adapun program yang diberikan adalah kepatuhan (kontak mata dan dapat duduk saat belajar), bahasa reseptif, bahasa ekspresif, preakademik, dan bantu diri. Program ini disesuaikan dengan keadaan anak. Untuk itu, anak yang akan mengikuti terapi harus diobservasi terlebih dahulu dan dari hasil observasi itu akan ditentukan program untuk anak tersebut.
Dalam ABA disarankan waktu terapi adalah 40 jam per minggu. Keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu berat atau ringannya derajat autisme, usia anak saat pertama kali ditangani, intensitas terapi, metode terapi, IQ anak, kemampuan berbahasa, masalah perilaku, dan peran serta orangtua dan lingkungan.
Peran orangtua
Peran serta orangtua dan masyarakat sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil maksimal. Jadi, harus ada kerja sama yang harmonis antara terapis dan orangtua. Jika anak hanya diberi program atau materi terapi di tempat terapi, sedangkan di rumah tidak diterapkan, upaya itu dipastikan tidak akan berhasil.
Di Bandung sudah banyak lembaga yang menyediakan terapi perilaku untuk anak autis atau anak berkebutuhan khusus lain, misalnya down syndrome, mental retardation, atau cerebral palsy. Beberapa lembaga itu adalah Yayasan Our Dream di Cemara, Sekolah Khusus Total System di Nataendah (Margahayu), Klinik Tanaya di Sulanjana, dan Prananda di Kiaracondong. Beberapa rumah sakit juga sudah menyediakan terapi perilaku.
Untuk wilayah madiun juga sudah ada di rsup dr. Soedono madiun
TATI NURHAYATI Pendamping Anak Berkebutuhan Khusus; Anggota Terapis Perilaku di Bandung
Autis Bisa Disembuhkan
Kamis, 8 April 2010 | 15:02 WIB
Oleh TATI NURHAYATI
Istilah autis mulai diperkenalkan oleh Leo Kanner pada 1943. Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Artinya, penyandang autisme asyik dan seakan-akan berada dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan gangguan proses perkembangan yang ditandai dengan keterlambatan perkembangan kognitif, konsentrasi, perilaku, bahasa, motorik, sosial, dan emosi.
Anak autis akan sulit melakukan kontak mata dengan orang lain. Mereka lebih tertarik pada benda daripada manusia. Maka, tidak mengherankan melihat anak autis asyik dengan mainannya daripada ikut bermain dengan teman atau keluarganya. Beberapa anak autis mempunyai perilaku mengoceh, ekolali (membeo atau meniru ucapan orang lain), melakukan gerakan motorik yang berulang-ulang (misalnya mengepak-ngepakkan tangan), menyakiti diri sendiri, atau bahkan menyakiti orang lain. Sebagian juga mempunyai minat dan kegiatan yang monoton dan hiperaktif (tidak bisa duduk dengan tenang).
Sampai sekarang penyebab autisme belum pasti. Namun, beberapa teori mengatakan, penyebabnya mulai dari faktor genetika (keturunan), infeksi jamur, sampai virus. Kekurangan nutrisi dan oksigen, polusi udara, air, dan makanan pada saat kehamilan dapat menghambat pertumbuhan sel otak bayi yang selanjutnya memungkinkan terjadinya autisme.
Banyak orangtua yang mempunyai anak autis bertanya-tanya, "Akan sembuhkah anakku?". Secara anatomis anak autis mengalami kelainan pada otak sehingga mengganggu proses perkembangan anak. Kelainan anatomis pada anak autis ini menurut ilmu kedokteran tidak dapat disembuhkan. Namun, autisme bukan harga mati untuk para orangtua yang memiliki anak autis. Sebab, seperti halnya anak normal, anak autis juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tentu saja proses pengembangannya tidak semudah atau secepat anak normal.
Dengan beberapa terapi, anak autis memungkinkan berkembang ke arah yang lebih baik. Perilaku anak autis yang oleh kebanyakan orang anggap aneh pun bisa dikurangi dan ditangani. Salah satu terapinya adalah terapi perilaku (behavior therapy).
Metode ABA
Terapi perilaku adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan mengurangi perilaku yang tidak wajar, kemudian menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima masyarakat.
Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar terapi perilaku adalah melatih kepatuhan. Kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi lain, seperti terapi wicara, terapi okupasi, dan fisioterapi. Sebab, tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil. Meski demikian, ternyata masih banyak tempat terapi anak autis atau anak berkebutuhan khusus lain yang tidak menyediakan terapi perilaku sehingga hasilnya tidak efektif.
Salah satu metode terapi perilaku adalah metode applied behavior analysis (ABA). Metode ini dipilih karena memiliki ciri terstruktur, terarah, dan terukur sehingga memudahkan terapis atau orangtua memantau perkembangan anak. Metode ABA ini ditemukan oleh seorang psikolog Amerika, O Ivar Lovaas Phd, sehingga metode ini juga sering disebut dengan metode Lovaas.
Tujuan metode ini adalah mengubah perilaku. Perilaku yang ditargetkan untuk berubah selalu dipilih dan dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. Norma atau perilaku ini disesuaikan dengan norma yang ada dan berlaku di masyarakat.
Teknik pelaksanaan ABA menggunakan pendekatan yang bersifat individual. Satu anak ditangani satu terapis, bahkan jika diperlukan didampingi juga oleh tenaga prompting yang membantu anak untuk mengarahkan perilaku yang diinstruksikan terapis. Dalam pengajarannya, ABA mengambil prinsip operant conditioning dan respondent conditioning. Perilaku yang diinginkan dan yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem hadiah dan hukuman.
Jika perilaku yang diinginkan muncul, anak akan diberi hadiah. Apabila yang muncul adalah perilaku yang tidak diinginkan, anak akan mendapatkan hukuman. Pemberian hadiah dan hukuman ini akan berpengaruh pada frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Adapun program yang diberikan adalah kepatuhan (kontak mata dan dapat duduk saat belajar), bahasa reseptif, bahasa ekspresif, preakademik, dan bantu diri. Program ini disesuaikan dengan keadaan anak. Untuk itu, anak yang akan mengikuti terapi harus diobservasi terlebih dahulu dan dari hasil observasi itu akan ditentukan program untuk anak tersebut.
Dalam ABA disarankan waktu terapi adalah 40 jam per minggu. Keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu berat atau ringannya derajat autisme, usia anak saat pertama kali ditangani, intensitas terapi, metode terapi, IQ anak, kemampuan berbahasa, masalah perilaku, dan peran serta orangtua dan lingkungan.
Peran orangtua
Peran serta orangtua dan masyarakat sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil maksimal. Jadi, harus ada kerja sama yang harmonis antara terapis dan orangtua. Jika anak hanya diberi program atau materi terapi di tempat terapi, sedangkan di rumah tidak diterapkan, upaya itu dipastikan tidak akan berhasil.
Di Bandung sudah banyak lembaga yang menyediakan terapi perilaku untuk anak autis atau anak berkebutuhan khusus lain, misalnya down syndrome, mental retardation, atau cerebral palsy. Beberapa lembaga itu adalah Yayasan Our Dream di Cemara, Sekolah Khusus Total System di Nataendah (Margahayu), Klinik Tanaya di Sulanjana, dan Prananda di Kiaracondong. Beberapa rumah sakit juga sudah menyediakan terapi perilaku.
Untuk wilayah madiun juga sudah ada di rsup dr. Soedono madiun
TATI NURHAYATI Pendamping Anak Berkebutuhan Khusus; Anggota Terapis Perilaku di Bandung
CEREBAL PALSY
Dipersembahkan oleh alat fisioterapi
Laboratorium/UPF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar
Di Postkan Oleh : Joko Santoso
PENDAHULUAN
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak,mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya(1,2)
Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral.Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau afiksia neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy, sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis. Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik,namun adanya gangguan perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop Phelps menekankan pentingnya pendekatan multi disiplin dalam penanganan penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat
. ANGKA KEJADIAN
Dengan meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadiancerebral palsy akan menurun(5) Namun dinegara-negara berkembang, kemajuan tektiologi kedokteran selain menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, juga meningkatkan jumlah anak-anak dengan gangguan perkembangan. Adanya variasi angka kejadian di berbagai negara karena pasien cerebal palsy datang ke berbagai klinik seperti klinik saraf, anak, klinik bedah tulang, klinik rehabilitasi medik dan sebagainya. Di samping itu juga karena para klinikus tidak konsisten menggunakan definisi dan terminologi cerebral palsy. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensicerebral palsy di Eropa (1950) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup (6), sedangkan di Skandinavia sebanyak 1,2 - 1,5 per 1000 kelahiran hidup (7). Gilroy memperoleh 5 dan 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy (8); 50% kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus; 25% mempunyai intelegensi rata-rata (normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70; 35% disertai kejang, sedangkan Disampaikan pada temu ilmiah dalam rangka HUT ke VII Klinik Tumbuh Kembang, Lab IKA/FK Unud RSUP. Denpasar. tanggal 17 April 1993.Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995
37
50% menunjukkan adanya gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak daripada wanita (1,4:1,0). Insiden relatif cerebral palsy yang digolongkan berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut: spastik 65%, atetosis 25%, dan rigid, tremor, ataktik I0% (9)
. ETIOLOGI
Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode (6,8,10) yaitu:
1) Pranatal :
a) Malformasi kongenital.
b) Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainanjanin (misalnya; rubela, toksoplamosis, sifihis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).
c) Radiasi.
d) Tok gravidarum.
e) Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal).
2) Natal :
a) Anoksialhipoksia.
b) Perdarahan intra kranial.
c) Trauma lahir.
d) Prematuritas.
3) Postnatal :
a)Trauma kapitis.
b)Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis.
c)Kern icterus.
Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan daripada faktor pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986) (dikutip dari 13) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin merupakan faktor penyebab cerebral palsy. Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat lahir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan(11,13). Sedang1 faktor pasca natal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun (Hagberg dkk 1975), atau sampai 5 tahun kehidupan (Blair dan Stanley, 1982), atau sampai 16 tahun (Perlstein, Hod, 1964) (dikutip dari 12).
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnyajari.ngan otak yang mengalami kerusakan(6,7,10)
1) Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
2) Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran.
3) Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung.
4) Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.
5) Gangguan perkembangan mental
Retarçlasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsyterutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
6) Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguari sçnsibilitas.
7) Problem emosional terutama pada saat remaja.
KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi yang diajukan oleh para ahli, tetapi pada kesempatan ini akan diajukan klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan derajat kemampuan fungsionil(2,3,4,5)
. Berdasarkan gejala klinis maka pembagian cerebral palsy adalah sebagai berikut:
1) Tipe spastis atau piramidal.
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a) Hipertoni (fenomena pisau lipat).
b) Hiperrefleksi yang djsertai klonus.
c) Kecenderungan timbul kontraktur.
d) Refleks patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut:
a) Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b) Spastik diplegia. Mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak bawah lebih berat.
c) Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota
gerak atas sedikit lebih berat.
d) Monoplegi, bila hanya satu anggota gerak.
e) Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua
anggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadri-
plegi.
2) Tipe ekstrapiramidal
Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Di samping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperrefleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada tipe ini kontraktunjarang ditemukan, apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetnis dan disantni.
3) Tipe campuran
Gejala-gejalanya merupakan campuran kedua gejala di atas,Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 38 misalnya hiperrefleksi dan hipertoni disertai gerakan khorea. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional.
1) Ringan:
Penderita masih bisa melakukan pekerjaanlaktifitas seharihari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
2) Sedang:
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
3) Berat:
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisikan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
PATOGENESIS
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 56 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 24. Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali, makrosefali.Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 35. Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial, sd berdiferensiasi dan daerah periventnikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam koerteks serebri; sedangkan migrasi secara tangensial sd berdiferensiasi dan zone germinal menuju ke permukaan korteks serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri, agenesis korpus kalosum.Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme. Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini terjadi proliferasi sd neuron, dan pembentukan selubung mialin.Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan Jadi kelainan neuropatologik yang
terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventnkuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis. Kerniktrus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa menyebabkan cerebral palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel. Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang ireversibel. Lesi ireversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis,
yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi(4,5,13,14)
. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang masih menetap. Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena gejaladapat berubah, terutama pada
bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni. Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada pendenita yang memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertam kejang. Pemeriksaan ultrasonografi kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencani etiologi. Pemeniksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa (3,4,15)
.PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan cerebral palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat. Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga pendenta sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Obat-obatan yang diberikan tergantung pada gejala-gejala yang muncul. Misalnya untuk kejang bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa diberikan baclofen dan diazepam. Bila gejala berupa nigiditas bisa diberikan levodopa. Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi. Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995
39
Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang lebih besar. Yang tidak boleh dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus sesuai dengan tingkat kecerdasan penderita.
CEREBAL PALSY
Cerebral palsy (CP) adalah sekelompok gangguan akibat cedera pada bagian otak besar (cerebrum). Otak besar adalah pengontrol aktivitas gerak anggota tubuh. Jika otak besar rusak, sistem saraf pusat pun mengalami kerusakan, sehingga satu atau beberapa anggota tubuh mengalami paralisis(palsy) atau kelumpuhan.
CP merupakan salah satu gangguan gerak yang paling sering terjadi pada anak-anak (diperkirakan terjadi pada 1-2 anak per 1.000 kelahiran). Berbagai penelitian di Amerika Serikat menyatakan, yang rentan terkena CP adalah bayi yang berberat lahir sangat rendah (di bawah 1.500 gram). Kelainan ini dapat terjadi sebelum lahir (terutama akibat gangguan pembentukan otak janin pada tiga setengah bulan kehamilan), akibat proses kelahiran (misal karena proses kelahiran susah, macet saat lahir, atau vakum copot beberapa kali sehingga bayi mengalami perdarahan di otak), setelah kelahiran, atau beberapa bulan setelah bayi lahir. Menurut Mayo Clinic Family Healthbook, 50% kasus CP tak diketahui sebabnya, 10-20% disebabkan kerusakan otak akibat cedera atau penyakit semisal meningitis (radang selaput otak), encephalitis (radang otak), atau herpes vagina yang diderita ibu. Selain itu, ibu merokok, pengguna obat-obatan atau minum alkohol (juga jamu peluntur) selama hamil, ketidakcocokan faktor rhesus, kelahiran prematur dan hipertiroid pada ibu hamil, diduga juga berperan. Sedangkan faktor keturunan, kurangnya suplai oksigen pada janin, serta trauma atau cedera saat kelahiran, masih diperdebatkan apakah ikut berperan atau tidak.CP akibat proses persalinan dan penyakit (meningitis atau herpes vagina) kini makin berkurang. Ini karena pelayanan kebidanan makin baik dan kemajuan ilmu kedokteran. Ancaman herpes vagina, misalnya, dapat diatasi dengan persalinan cesar. Namun penyebab CP yang masih tinggi saat ini adalah bayi prematur dan bayi sangat kuning. Rata-rata bayi yang lahir prematur pembentukan otaknya belum sempurna, sehingga risiko mengalami CP pun lebih tinggi. Sedangkan bayi yang lahir sangat kuning, bilirubinnya dapat melekat pada otak sehingga bisa menyebabkan ganguan dan kelumpuhan.
CP ringan atau sedang - berupa keterlambatan perkembangan - dapat sembuh dengan bantuan fisioterapi. Sedangkan CP berat bisa menyebabkan kelumpuhan total, keterbelakangan mental, tuli dan epilepsi pada penderitanya. Penderita CP berat umumnya juga ber-IQ rendah karena adanya kerusakan pada otak kanan atau kiri.
Cerebral palsy (CP) adalah gangguan kontrol terhadap fungsi motorik karena kerusakan yang terjadi pada otak yang sedang berkembang. “Bisa terjadi saat masih dalam kandungan (75 persen), saat proses kelahiran (5 persen) atau setelah dilahirkan (15 persen),” kata Dwi.
Penyebab CP sampai saat ini belum diketahui, diduga terjadi karena bayi lahir prematur sehingga bagian otak belum berkembang sempurna, bayi yang lahir tidak langsung menangis sehingga otak kekurangan oksigen, atau karena adanya cacat tulang belakang dan pendarahan di otak. “CP merupakan penyakit yang didapat, artinya pada awalnya otak normal, lalu terjadi gangguan, entah itu virus atau bakteri yang menyebabkan radang otak atau penyakit lain, ketika gangguan itu berlalu, otaknya ada yang rusak, nah terjadilah CP,” paparnya.
Empat Tipe
Secara umum CP dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu spastic, athetoid, hypotonic, dan tipe kombinasi. Pada tipe spastic atau kaku-kaku, penderita bisa terlalu lemah atau terlalu kaku. Tipe spastic adalah tipe yang paling sering muncul, sekitar 65 persen penderita CP masuk dalam tipe ini.
Athetoid untuk tipe penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
Sedangkan hypotonic untuk anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang jadi spastic atau athetoid. CP juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan, pendengaran, maupun bicara.
Ciri-ciri
Gejala CP sudah bisa diketahui saat bayi berusia 3-6 bulan, yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Menurut Dwi, ciri umum dari anak CP adalah perkembangan motorik yang terlambat, refleks yang seharusnya menghilang tapi masih ada (refleks menggenggam hilang saat bayi berusia 3 bulan), bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan satu kaki diseret.
“Begitu ada petunjuk keterlambatan, misalnya bayi belum bisa tengkurap atau berguling, segeralah bawa ke dokter untuk pemeriksaan,” ujarnya. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter mendeteksi CP pada umumnya melakukan CT-Scan dan MRI untuk mengukur lingkar otak, serta melakukan tes lab untuk menelusuri apakah si ibu memiliki riwayat infeksi seperti toksoplasma atau rubella.
Terapi
Sampai saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan CP. Namun tetap ada harapan untuk mengoptimalkan kemampuan anak CP dan membuatnya mandiri. “Berbeda dengan cedera otak yang lain, ciri khas dari CP adalah kelainannya bersifat permanen non progresif, artinya akan berubah ke arah perbaikan, meski perkembangannya lambat,” katanya.
Terapi yang diberikan pada penderita CP akan disesuaikan dengan usia anak, berat ringan penyakit, serta tergantung pada area otak mana yang rusak. “Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan meng-cover sel-sel yang rusak. Untuk mengoptimalkan bagian otak yang sehat tersebut, perlu diberikan stimulasi agar otak anak berkembang baik,” katanya.
Stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca indera untuk merangsang perimbangan penyebaran dendrit, yang dikenal dengan istilah compensatory dendrite sprouting. Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita CP mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode glenn doman.
Metode glenn doman untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih gerakan kaki dan tangan, merayap, merangkak, hingga masking (menghirup oksigen), untuk melatih paru-paru agar membesar. Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah melakukan terapi ini.
PELAYANAN FISIOTERAPI PADA CEREBRAL PALSY
Cerebral Palsy merupakan kerusakan susunan syaraf pusat yang menyebabkan inkoordinasi dari gerakan-gerakan otot anggota gerak, penyebabnya diantaranya : pada masa kehamilan (keracunan, kena virus, infeksi, trauma), pada masa kelahiran (kurang 02, plasenta rusak, letak sungsang), pada masa setelah melahirkan (stuio, trauma, infeksi).
Menurut jenisnya CP terbagi menjadi :
Spastik / kaku yang terdiri atas : monoplegia (suatu anggota gerak), diplegia (anggota gerak bawah), triplegia (tiga anggota gerak), Quadriplegia (keempat anggota gerak), hemiplegia (separuh gerak badan).
Flaccid/hipertoni ditandai dengan gerakan lemah dan lambat.
Athetoid /gangguan koordinasi yang terdiri atas : athetoid spastis (gerakan lebih besar pada leher dan kepala), dystonia (kejang-kejang yang berselang-seling), korea athetosis/murni athetosis.
Riqid, ditandai dengan gerakan patah-patah dan kaku. Ataxia / ganggguan keseimbangan.
Campuran.
Adapun tujuan FT pada anak CP antara lain sebagai berikut:
Menurunkan kekakuan otot
Mencegah pemendekan otot
Memelihara dan meningkatkan lingkup gerak sendi
Meningkatkan gerakan anggota tubuh/mobilisasi
Melatih keseimbangan, koordinasi, ketahanan dan persepsi
Mencegah kekacauan lebih lanjut
Mengusahakan secara optimal agar pasien bisa mandiri atau tidak tergantung penuh kepada orang lain.
Alat-alat bantu terapi yang tidak kalah pentingnya adalah : Crawler (untuk merangkak), standing table dan tilting table (untuk berdiri), spalk brace (untuk membantu berdiri), papan keseimbangan dan bola keseimbangan (bisa dilihat di daftar alat fisioterapi), walker dan paralel bar (untuk berjalan), kursi CP (untuk latihan duduk), serta wall bar (untuk latihan jongkok berdiri).
Cara pengobatan disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan anak saat itu. Bentuk-bentuk latihan dikoordinasikan dengan permainan-permainan (bobath exc.) agar anak tidak bosan dan tujuan dari terapi dapat terwujud.
Jika Anak Asma, Pilih Inhaler atau Nebulizer?
Studi menunjukkan alat manapun yang digunakan untuk mengatasi asma sebenarnya tidak menjadi masalah, asal digunakan dengan benar. Pada intinya semua metode akan bekerja dengan baik ketika teknik yang digunakan benar.
Seperti dikutip dari HealthMSN, Rabu (3/11/2010) meski demikian tetap saja ada plus minus dari inhaler dan nebulizer yang digunakan untuk mengatasi asma pada anak, yaitu:
Inhaler
Inhaler adalah obat asma yang kecil dan sangat mudah dibawa kemana-mana. Obat asma yang terdapat dalam inhaler bisa berupa spray atau bubuk yang terdapat dalam dosis tertentu. Alat ini umumnya lebih disukai oleh para orangtua dan penggunaan dosisnya lebih tepat.
Inhaler yang banyak digunakan adalah Metered dose inhalers (MDI), tapi penggunaannya membutuhkan koordinasi. Karena anak harus dapat mengaktifkan perangkat dan menghirup secara bersama-sama. Untuk itu alat ini akan sedikit lebih sulit digunakan oleh anak yang belum memiliki koordinasi yang baik. Itu sebabnya beberapa dokter menggunakan spacer (pengatur jarak) pada MDI.�
Selain itu ada juga inhaler bubuk kering (dry powder inhalers/DPI) yang lebih mudah digunakan karena tidak memerlukan koordinasi. Dalam penggunaannya dibutuhkan kekuatan napas anak untuk menghirup powder hingga masuk ke dalam paru-paru. Kebanyakan anak berusia di atas 6 tahun yang menggunakan alat ini, karena sudah mampu menghirup dengan cepat dan kuat.
Nebulizer
Alat nebulizer umumnya sangat mudah digunakan dan menggunakan mesin bertenaga listrik. Pada alat ini obat asma cair akan diubah menjadi kabut, lalu dengan menggunakan masker wajah kabut tersebut akan dihirup ke dalam paru-paru.
Nebulizer umumnya jauh lebih mudah digunakan untuk anak-anak yang masih kecil dan bayi, karena tidak memerlukan koordinasi dan anak hanya perlu duduk saja sambil bernapas seperti biasa. Selain itu alat ini akan membantu kasus asma parah menjadi lebih baik, serta dapat mengaktifkan campuran dari dua obat asma atau lebih.
Namun dalam penggunaannya peran orangtua sangat penting, karena obat baru dimasukkan saat nebulizer akan digunakan. Karenanya risiko ketidaktepatan dosis obat sangat mungkin terjadi dan alat ini akan bekerja kurang optimal jika anak atau bayi menangis.
Umumnya dokter akan bekerja sama dengan orangtua untuk menentukan perangkat yang paling sesuai, biasanya keputusan didasarkan pada usia, kemampuan anak dan juga jenis obat yang dibutuhkan. Tak jarang beberapa anak ada yang mencoba beberapa jenis pengobatan terlebih dahulu sebelum menemukan alat yang tepat.
Asma Dan Nebulizer
Apakah Asma ?
Asma merupakan gejala yang ditimbulkan akibat adanya kelainan saluran nafas, menyebabkan peningkatan kepekaan rangsang terhadap lingkungan. Kondisi asma ini dapat diakibatkan karena kondisi pikiran yang lelah, kelelahan jasmani, perubahan lingkungan yang tidak sehat (banyak asap, cuaca, kelembaban lingkungan), infeksi saluran nafas dan alergi bahan yang terhirup atau dimakan. Dapat dikatakan bahwa asma itu adalah penyakit alergi. Sekitar 50 – 60 % penyakit alergi pernafasan diturunkan ke anak atau cucu.
Gejala ?
Gejala yang sering dijumpai pada penderita asma biasanya adalah pilek/bersin, batuk disertai rasa gatal di tenggorokan. Pada tingkat lanjut akan ditemukan adanya sesak nafas, nafas berbunyi, berkeringat dan denyut nadi meningkat. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketika terjadi serangan asma maka akan terjadi penyempitan pada saluran nafas. Hal ini sangat berbahaya jika terjadi penumpukan dahak (dahak yang pekat dan lengket) dan sulit dikeluarkan karena hal ini penghalangi keluar-masuknya udara.
Pengobatan ?
Pengobatan terkini yang dapat diberikan pada penderita asma selain pemberian obat oral adalah pengobatan/terapi dengan nebulizer.
Apa Itu Nebulizer ?
Nebulizer merupakan suatu alat yang digunakan dalam pengobatan asma. Alat ini dapat mengubah partikel obat dari cair ke gas (uap). Karena obat diubah dalam bentuk gas (uap) maka obat ini lebih mudah untuk diserap sehingga efek dari obat lebih cepat kelihatan daripada obat oral. Dalam istilah fisioterapi , terapi ini sering kita sebut Inhalasi Terapi. Pada pelaksanaan inhalasi terapi pasien tidak hanya dinebulizer saja, tetapi pasien juga di hangaatkan bagian dada dan punggung, direlaksasikan otot-otot dada dan punggungnya serta dilatih untuk batuk dan membuang lendir. Terapi ini sangat aman (asal dilakukan oleh yang ahlinya tentunya…) dan sangat efektif dalam mengurangi keluhan asma.
Sistem Saraf Pusat
Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah sebagai berikut.
1. Durameter; merupakan selaput yang kuat dan bersatu dengan tengkorak.
2. Araknoid; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan serebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran araknoid. Fungsi selaput araknoid adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik.
3. Piameter. Lapisan ini penuh dengan pembuluh darah dan sangat dekat dengan permukaan otak. Agaknya lapisan ini berfungsi untuk memberi oksigen dan nutrisi serta mengangkut bahan sisa metabolisme.
Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu:
1. badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea)
2. serabut saraf yang membentuk bagian materi putih (substansi alba)
3. sel-sel neuroglia, yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf pusat
Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama tetapi susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar atau kulitnya (korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum tulang belakang bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu, sedangkan bagian korteks berupa materi putih.
1. Otak
Otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum), otak tengah (mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum sambung (medulla oblongata), dan jembatan varol.
a. Otak besar (serebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktifitas mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan.
Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian korteks serebrum yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.
2. Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.
3. Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan.
4. Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan sumsum
tulang belakang.
5. Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga mempengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan.
Selain itu, sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip.
6. Sumsum tulang belakang (medulla spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar berwarna putih, sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu.
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang akan menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor.
Pada bagian putih terdapat serabut saraf asosiasi. Kumpulan serabut saraf membentuk saraf (urat saraf). Urat saraf yang membawa impuls ke otak merupakan saluran asenden dan yang membawa impuls yang berupa perintah dari otak merupakan saluran desenden.
CIDERA SUSUNAN SISTEM SARAF PUSAT (CRANIOCEREBRAL TRAUMA)
Kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
1. Oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak.
2. Efek dari kekuatan atau energi yang di teruskan ke otak.
3. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi)pada otak.
C. Faktor pemberat terjadinya cidera otak
1. Besar kekuatan yang menyebabkan terjadinya trauma (semakin besar kekuatan semakin besar pula kerusakan yang di timbulkannya).
2. Efek sekunder dari cidera otak.
D. Pathofisiologi
Trauma tumpul maupun trauma kepala mebentur benda menyebabkan terjadinya kerusakan pada jringan nervous di otak, dampak yang timbul antara lain perdarahan di otak yang letak dan luasnya bergantung dari besar kekuatan serta lokasi trauma. Perdarahan di otak menyebabkan peningkatan voume intrkaranial yang dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang dapat di lihat secara langsung.
Edema cerebri akibat reaksi oleh jaringan setempat akibat dari adanya jaringan yang mengalami trauma menyebabkan pula terjadinya peningkatan volume intrkranial.
Dampak dari peningkatan tekanan intrakranial yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini
(Sylvia Anderson Price, 1982)
E. Gejala klinik
- Sakit kepala yang hebat.
- Wajah asimetris.
- Tak sadar/ pingsan.
- Bingung.
- Lateralisasi/ hemiparese/ paraparese.
- Gangguan bicara.
- Penurunan kesadaran.
F. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Di lakukan untuk menunjukan vertebrae (tulang belakang) dan adanya bendungan dari spinal arakhnoid jika di curigai.
4. MRI (magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting di ketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medula oblongata).
7. Analisa gas darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usah pernafasan.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konsevatif
Memperbaiki keadaan umum, pemberian vasodilator, mengurangi edema cerebri.
2. Terapi pembedahan
Trepanasi melakukan evakuasi terhadap perdarahan yang timbul dan menghentikan perdarahan.
H. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang bergubungan dengan faktor pendukung terjadinya stroke, serta bio- psiko- sosio- spiritual.
2. Peredaradan darah
Palpitasi, sakit kepala pada saat melakukan perubahan posisi, penurunan tekanan darah, bradikardi, tubuh teraba dingin, ekstrimitas tampak pucat.
3. Eliminasi
Perubahan pola eliminasi (inkontinensia uri/ alvi), distensi abdomen, menghilangnya bising usus.
4. Aktivitas/ istirahat
Terdapat penurunan aktivitas karena kelemahan tubuh, kehilangan sensasi atau parese/ plegia, mudah lelah, sulit dalam beristirahat karena kejang otot atau spasme dan nyeri. Menurunnya tingkat kesadaran, menurunnya kekuatan otot, kelemahan tubuh secara umum.
5. Nutrisi dan cairan
Anoreksia, mual muntah akibat peningkatan TIK (tekanan intra kranial), gangguan menelan, dan kehilangan sensasi pada lidah.
6. Persarafan
Pusing/ syncope, nyeri kepala, menurunnya luas lapang pandang/ pandangan kabur, menurunnya sensasi raba terutama pada daerah muka dan ekstrimitas. Status mental koma, kelmahan pada ekstrimitas, paralise otot wajah, afasia, pupil dilatasi, penurunan pendengaran.
7. Kenyamanan
Ekspresi wajah yang tegang, nyeri kepala, gelisah.
8. Pernafasan
Nafas yang memendek, ketidakmampuan dalam bernafas, apnea, timbulnya periode apnea dalam pola nafas.
9. Keamanan
Fluktuasi dari suhu dalam ruangan.
10. Psikolgis
Denial, tidak percaya, kesedihan yang mendalam, takut, cemas.
I. Masalah dan rencana tindakan keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan jaringan atau trauma pada pusat pernafasan
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan pernafasan secara adekuat dengan memperlihatkan hasil blood gas yang stabil dan baik serta hilangnya tanda-tanda distress pernafasan.
Rencana tindakan:
a. Bebaskan jalan nafas secara paten (pertahankan posisi kepala dalam keadaan sejajar dengan tulang belakang/ sesuai indikasi).
b. Lakukan suction jika di perlukan.
c. Kaji fungsi sistem pernafasan.
d. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan batuk/ usaha mengeluarkan sekret.
e. Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
f. Observasi tanda-tanda adanya ditress pernafasan (kulit menjadi pucat/ cyanosis).
g. Kolaborasi dengan terapist dalam pemberian fisoterapi.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler pada ekstrimitas.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas fisik.
Rencana tindakan:
a. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
b. Ajarkan pada pasien tentang rentang gerak yang masih dapat di lakukan.
c. Lakukan latihan secara aktif dan pasif pada akstrimitas untuk mencegah kekakuan otot dan atrofi.
d. Anjurkan pasien untuk mengambil posisi yang lurus.
e. Bantu pasien secara bertahap dalam melakukan ROM sesuai kemampuan.
f. Kolaborasi dalam pemberian antispamodic atau relaxant jika di perlukan.
g. Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas
3. Penurunan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema cerebri, perdarahan pada otak.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kesadaran, kognitif dan fungsi sensori.
Rencana tindakan:
a. Kaji status neurologis dan catat perubahannya.
b. Berikan pasien posisi terlentang.
c. Kolaborasi dalam pemberian O2.
d. Observasi tingkat kesadaran, tanda vital.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya trauma secara fisik
Tujuan: Pasien mengungkapkan nyeri sudah berkurang dan menunjukkan suatu keadaan yang relaks dan tenang.
Rencana tindakan:
a. Kaji tingkat atau derajat nyeri yang di rasakan oleh pasien dengan menggunakan skala.
b. Bantu pasien dalam mencarai faktor presipitasi dari nyeri yang di rasakan.
c. Ciptakan lingkungan yang tenang.
d. Ajarkan dan demontrasikan ke pasien tentang beberapa cara dalam melakukan tehnik relaksasi.
e. Kolaborasi dalam pemberian sesuai indikasi.
5. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada himisfer otak.
Tujuan: Pasien mampu melakukan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan komunikasi.
Rencana tindakan:
a. Lakukan komunkasi dengan pasien (sering tetapi pendek serta mudah di pahami).
b. Ciptakan suatu suasana penerimaan terhadap perubahan yang dialami pasien.
c. Ajarkan pada pasien untuk memperbaiki tehnik berkomunikasi.
d. Pergunakan tehnik komunikasi non verbal.
e. Kolaborasi dalam pelaksanaan terapi wicara.
f. Observasi kemampuan pasien dalam melakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal.
6. Perubahan konsep diri berhubungan dengan perubahan persepsi.
Tujuan: Pasien menunjukan peningkatan kemampuan dalam menerima keadaan nya.
Rencana tindakan:
a. Kaji pasien terhadap derajat perubahan konsep diri.
b. Dampingi dan dengarkan keluhan pasien.
c. Beri dukungan terhadap tindakan yang bersifat positif.
d. Kaji kemampuan pasien dalam beristirahat (tidur).
e. Observasi kemampuan pasien dalam menerima keadaanya.
7. Perubahan pola eliminasi defekasi dan uri berhubungan dengan an inervasi pada bladder dan rectum.
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan eliminasi (defekasi/ uri) secara normal sesuai dengan kebiasaan pasien.
Rencana tindakan:
a. Kaji pola eliminasi pasien sebelum dan saat di lakukan pengkajian.
b. Auskultasi bising usus dan distensi abdomen.
c. Pertahankan porsi minum 2-3 liter perhari (sesuai indikasi).
d. Kaji/ palpasi distensi dari bladder.
e. Lakukan bladder training sesuai indikasi.
f. Bantu/ lakukan pengeluaran feces secara manual.
g. Kolaborasi dalam(pemberian gliserin, pemasangan dower katheter dan pemberian obat sesuai indikasi).
8. Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi perifer yang tidak adekuat, adanya edema, imobilisasi.
Tujuan: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit (dikubitus).
Rencana tindakan:
a. Kaji keadaan kulit dan lokasi yang biasanya terjadi luka atau lecet.
b. Anjurkan pada keluarga agar menjaga keadan kulit tetap kering dan bersih.
c. Ganti posisi tiap 2 jam sekali.
d. Rapikan alas tidur agar tidak terlipat.
9. Resiko terjadinya ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Pasien menunjukan kemauan untuk melakukan kegiatan penatalak- sanaan.
a. Identifikasi faktor yang dapat menimbulkan ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.
b. Diskusikan dengan pasien cara-cara untuk mengatasi faktor penghambat tersebut.
c. Jelaskan pada pasien akibat dari ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.
d. Libatkan keluarga dalam penyuluhan.
e. Anjurkan pada pasien untuk melakukan kontrol secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.
Junadi, Purnawan, 1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik proses-proses penyakit, Jakarta: EGC.
Senin, 08 November 2010
Ergonomi
nyeri pinggang
Efek Terapi Ultra Sound Dan Cara Aplikasinya
Efek Terapi Ultra Sound Dan Cara Aplikasinya
Berikut adalah sejumlah teori oleh US yang berhubungan dengan efek terapeutik:
1.Thermal Efek:
Ketika gelombang ultrasonik lulus dan transuder ke dalam kulit yang
menyebabkan getaran di sekitar jaringan. terutama yang mengandung
kolagen. Getaran yang meningkat ini menyebabkan produksi panas dalam
jaringan. Pada kebanyakan kasus, hal ini tidak dapat dirasakan oleh pasien
sendiri. Peningkatan suhu ini dapat menyebabkan peningkatan
Ekstensibilitas struktur seperti ligamen. tendon. jaringan parut dan kapsul
fibrosa sendi. Selain itu. pemanasan juga dapat membantu untuk
mengurangi rasa sakit dan kejang otot dan meningkatkan proses
penyembuhan.
Bel pada inflamasi dan Proses Perbaikan:
Salah satu manfaat teibesar terapi US yang disampaikan adalah yaitu
mengurangi waktu penyembuhan cedera jaringan Iunak tertentu.
• US berpikir untuk mempercepat waktu penyembuhan yang normal dan
proses peradangan dengan menarik Iebih banyak "mast sells" ke lokasi
cedera. Ini dapat menyebabkan peningkatan aliran danah yang dapat
bermanfaat pada fase sub-akut pada cedena janingan, US tidak di anjuikan
pada cidera dimana peningkatan alinan darah masih berlangsung.
• Ultrasonografi juga dapt merangsang produksi kolagen khususnya komponen protein dalam jaringan lunak
seperti tendon dan ligamen. Oleh karena itu US dapat mempercepat fase poliferatif pada penyembuhan
jaring an.
• US berpikin untuk meningkaan eItensibiIitas kolagen dan dapat memiliki efek positif pada fibrosa janingan
parut yang dapatterbentuksetelah cedera.
Penerapan Ultrasound:
• Ultrasound biasanya diteiapkan dengan menggunakan transduser yang memancaikan sinai ultrasonik. Bergerak tenus menerus dalam kulit sekitar 3.5 menit. Pengobatan dapat diulangi 1.2 kali setiap han. lebih sening pada kondisi cidena akut dan Iebih janang frekuensinya pada kasus.kasus knonis.
• Dosis Ultrasound dapat bervariasi baik dalam intensitas atau frekuensi. Frekuensi rendah digunakan pada daerah-daerah cidera yang letaknya lebih dalam. sedang frekuensi tinggi digunakan untuk penmukaan yang lebih dekat dengan kulit.
Kontraindikasi Untuk Penggunaan:
• pada penyakit jaringan yang abnormal, tekanan darah yang tinggi, tumor yang menyebar di seluruh tubuh,
Jangan gunakan jika pasien menderita dan:
• tumor ganas atau kanker janingan
• infeksi akut
• Risiko pendarahan
• ischeamic jaringan berat
• ada riwayat trombosisvena
• terkena jaringan saraf
• Kecurigaan terhadap patah tulang
• Jika pasien hamil
• Jangan gunakan di daenah gonad (alat kelamin).