Selasa, 28 Juni 2011
Klasifikasi Stroke Iskemik (oleh alat fisioterapi)
Klasifikasi Stroke Iskemik
Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan penyebabnya :
1. Stroke Emboli
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial maupun emboli paradoxical melalui patent foramen ovale. Sumber emboli cardiogenik termasuk thrombus valvular (seperti mutral stenosis, endoraditis, katup prostetik), thrombus mural (seperti infark myocardm fibrilasi atrial, cardiomyopathy dilatasi, CHF dan atrial myxoma). MI berhubungan dengan 2-3% insidensi stroke emboli, dimana 85% kasus terjadi pada bulan pertama setelah MI.
2. Stroke Thrombosis
Stroke thrombosis dapat mengenai pembuluh darah besar termasuk sistem arteri carotis atau pembuluh darah kecil termasuk percabangan sirkulus wilis dan sirkulasi posterior. Tempat yang umum terjadi thrombosis adalah titik percabangan arteri serebral khususnya distribusi arteri carotis interna. Stenosis arteri dapat mengakibatkan aliran darah yang turbulen dan meningkatkan resiko tebentuknya thrombus, atherosclerosis (seperti plak ulserasi), dan perlengketan plateler yang kesemuanya dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah juga emboli atau oklusi pada arteri.
Penyebab yang umum dari thrombosis adalah polisitemia, defisiensi protein C, dysplasia fibromuscula pada arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan pada gangguan migraine headache. Berbagai proses diseksi dari arteri serebral juga dapat menyebabkan stroke thrombosis seperi trauma, diseksi aorta thoracalis dan arteritis. Hipoperfusi distal akibat stenosis atau oklusi arteri atau hipoperfusi area diantara dua arteri serebral dapan menyebabkan stroke iskemik.
Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan arteri yang terkena dan gejala yang ditimbulkannya :
1. Sindrom Arteri Serebral Medial
Oklusi arteri serebl meadial biasanya disebabkan oleh emboli. Stenosis arteri serebral medial dengan atau tanpa oklusi thrombotic lebih jarang terjadi.
2. Sindrom Arteri Serebral Anterior
Oklusi arteri serebral anteri juga biasa disebabkan oleh emboli. Oklusi cabang arteri serebral anterior sering tidak begitu mencolok karena adanya aliran darah dari arteri komunikana anterior. Namun demikian ketika ada oklusi pada percabangan utamanya akan menghasilkan defisit yang berat pada dareah yang diperdarahi.
3. Sindrom Arteri Carotis
Oklusi carotid dapat menghasilkan symptom melalui 2 cara yaitu melalui hipoperfusi sekunder akibat stenosis atau oklusi atau dengan adanya emboli. Walau dengan adanya stenotis yang ringan, ulserasi dan plak ateroma dapat menjadi pembentukan thrombus dan putensia sebagai sumber emboli.
4. Sindrom Arteri Serebral Posterior
Arteri serebral posterior dapat mangalami oklusi akibat emboli dan thrombosis
5. Sindrom Artery Vertebrobasilar
Lebih jarang terjadi dibandingkan iskemia sirkulasi anterioe, oklusi arteri basilar dan vertebral dapat disebabkan thrombosis dan emboli.
6. Infark Serebellar
Infark serebelar biasa menyebabkan pusing, mual, muntah, nistagmus dan ataksia. Sering terdapat ataksia tumit-lutut dan telunjuk-hidung. Lebih dari 1 sampai 3 hari, akan terjadi edema pada serebellum yang menyebebkan timbulnya gejala-gejala penekanan batang otak seperti conjugate eye, disfungsi N V ipsilateral dan palsy N VII ipsilateral. Kelainan ini akan berlanjut dengan cepat sampai koma maupun kematian. Pasien dengan manifestasi klinis tersebut harus dievaluasi dan diobservasi dalam beberapa hari sampai komplikasi penekanan batang otak dapat di dikurangi dengan dekompresi surgical pada fossa posterior.
7. Infark Lakunar
Tipe penyakit vascular yang khusus, memiliki karakteristik berupa penebalan hialin pada penetrasi arteri kecil pada otak (lipohialinosis) dan sering terjadi pada pasien diabetes mellitus dan hipertensi. Oklusi pada pembuluh darah ini menghasilkan infark cystic yang kecil dan dalam. Infark ini sering asimptomatis tapi bisa juga menyebabkan gejala seperti stroke motorik yang murni, stroke sensorik yang murni, clumsy hand-dysarthria syndrome, ataksia homolateral dan paresis crural, hemiparese motorik yang murni dengan parese kontralaeral dari gaze lateral dan optalmoplegia internuclear, lacuna sensorimotor, hemiparesis ataksia dan sebagainya. Diagnosi dapat diarahkan ketika EEG normal dengan manifestasi klinis seperti di atas. clumsy hand-dysarthria syndrome Oklusi primer arteri-arteri kecil merupakan mekanisme yang umum, arteri tersebut bisa juga menjadi target emboli dan mengalami oklusi akibat plak atherosclerosis pembuluh darah besarnya.
Senin, 27 Juni 2011
Encepalitis dan meningitis
Definisi Encephalitis
Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak.
Gejala-Gejala Encephalitis
Gejala-gejala dari encephalitis termasuk demam yang tiba-tiba, sakit kepala, muntah, kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung yang kaku, kebingungan, keadaan mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang tidak mantap, dan mudah terangsang. Kehilangan kesadaran, kemampuan reaksi yang buruk, serangan-serangan, kelemahan otot, demensia berat yang tiba-tiba dan kehilangan memori dapat juga ditemukan pada pasien-pasien dengan encephalitis.
Siapa saja yang mengalami gejala-gejala dari encephalitis harus segera mengunjungi seorang dokter.
Definisi Meningitis
Meningitis adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (yang disebut meninges) yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Meningitis mungkin disebabkan oleh banyak virus-virus dan bakeri-bakteri yang berbeda. Ia juga dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit yang dapat memicu peradangan dari jaringan-jaringan tubuh tanpa infeksi (seperti systemic lupus erythematosus dan penyakit Behcet)
II. PENYAKIT YANG SERING DIDAPATKAN DAN MEMERLUKAN TINDAKAN DARURAT
1. GANGGUAN PEMBULUH DARAH OTAK ( GPDO ) / STROKE
Adalah penyakit padasistem syaraf pusat ( otak ) yang ditandai dengan gangguan pada peredaran darah, baik itu karena sumbatan pembuluh darah maupun pendarahan ( pecahnya pembuluh darah ) di otak sehingga menyebabkan gangguan anatomo dan fisiologi otak.
Faktor-faktor penyebabnya :
Tekanan darah tinggi
Penyakit jantung
Kencing manis
dll
Gejala awal penyakit dimulai dengan kesemutan selsisi tubuh disertai atau tanpa disertai bicara cadel ( pelo ) yang kadang-kadang hilang timbul tetapi cenderung bertambah berat sampai terjadi lumpuh sesisi tubuh. Penderita seperti ini harus segera dibawa ke rumah sakit untuk tindakan medis.
Penyulit penyakit terjadi apabila sampai terjadi penurunan kesadaran ( koma ) yang memberikan hasil akhir yang merugikan.
Penyakit dapat dicegah dengan menyadari faktor-faktor resiko :
Tekanan darah tinggi
Penyakit Jantung
Kencing manis
2. RADANG OTAK / SELAPUT OTAK
Adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya bakteri / virus / parasit kedalam otak dan selaput otak.
Gejala awalnya adalah panas badan tinggi, badan lemah, kaku leher dan muntah-muntah yang tidak membaik dengan obat-obatan biasa.
Penyakit timbul apabila keradangan meluas sampai timbul bengkak otak dan atau abses ( borok ) otak sehingga menimbulkan penurunan kesadaran ( coma ).
3. SINDROMA GUILLAIN BARRE
Adalah penyakit yang desebabkan oleh proses imunologi yang membuahkan kerusakan pada selaput syaraf sehingga timbul kelumpuhan ( layuh ) pada anggota gerak.
Diawali dengan gejala-gejala infeksi pada saluran nafas atau saluran cerna yang berupa panas, batuk, pilek atau berak-berak yang diikuti kelumpuhan yang di mulai dari anggota gerak bawah kemudian menjalar ke anggota gerak atas.
Penyakit akan timbul apabila kelumpuhan terjadi pada alat-alat pernafasan sehingga timbul kegagalan pernafasan.
PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia)
Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat 10530, JAKARTA Indonesia
Telp : +62 21 - 3917349
Fax : +62 21 2305856
email : sekretariat@perdossi.or.id
Tips Berobat Ke Dokter Syaraf
Biasanya, pemeriksaan pada dokter syaraf ini dilakukan setelah mendapat rujukan atau rekomendasi dari dokter umum. Hal ini dilakukan setelah pemeriksaan awal yang dilakukan dokter umum menunjukkan adanya indikasi gangguan pada bagian syaraf kita. Sehingga, agar diperoleh hasil penelitian yang lebih terperinci biasanya dokter umum akan memberikan saran pemeriksaan berlanjut.
Hal ini mengingat syaraf adalah bagian vital dari tubuh manusia. Meski pun kecil dan sulit dilihat dengan mata telanjang, namun perannya sangat besar dalam menunjang berbagai aktivitas manusia. Sedikit saja terjadi gangguan pada bagian syaraf manusia, bisa berdampak fatal.
Seperti jika gangguan pada syaraf motorik manusia, bisa berdampak pada terjadinya kelumpuhan. Atau juga jika syaraf mata terjadi kerusakan, bisa mengakibatkan kebutaan pada penderitanya. Inilah mengapa, sedini mungkin kelainan pada sistem syaraf manusia harus segera ditangani sebelum terjadi hal-hal yang lebih parah.
Mengingat, masing-masing bagian dalam syaraf saling terhubung satu sama lain. Sehingga apabila terjadi kerusakan pada satu bagian, bisa mempengaruhi peran dari fungsi syaraf tubuh lainnya. Namun banyak manusia yang menganggap sepele permasalahan yang berhubungan dengan gangguan syaraf ini.
Selain karena tidak terlihat oleh mata, gangguan syaraf sering kali diberikan pengobatan yang tidak tepat untuk mengatasinya. Contohnya bila terjadi gangguan syaraf yang menyebabkan migrain. Banyak yang menganggap hal tersebut adalah masalah sepele dan cukup minum obat yang mengandung analgesik saja untuk mengatasinya. Analgesik sendiri sebenarnya hanya berfungsi untuk menekan rasa sakit, dan bukan menyembuhkannya.
Tips Berobat Ke Dokter Syaraf
Di sisi lain, banyak orang yang merasa takut untuk berobat ke dokter syaraf. Selain karena adanya anggapan, bahwa dokter syaraf hanyalah dokter yang menangani pasien gangguan ingatan, juga banyak masyarakat menganggap bahwa berobat ke dokter syaraf hanya bagi mereka yang menderita penyakit berat saja.
Akibatnya, ketika harus berobat ke dokter syaraf, banyak orang yang merasa ingin cepat selesai. Mereka tidak berpikir jangka panjang, tentang dampak menyepelekan penyakit syaraf. Untuk itu, ketika kita berobat ke dokter syaraf ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Seperti :
Jangan ragu mengatakan seluruh keluhan yang dirasakan. Hal ini berguna agar dokter bisa sedini mungkin menganalisa kemungkinan penyakit, sebelum dilakukan pemeriksaan secara mendetail.
Tanyakan jenis obat apa saja yang diberikan oleh dokter. Jangan terjebak dengan merasa puas jika kita hanya diberikan obat berjenis analgesik yang tidak berfungsi menyembuhkanpenyakit. Karena analgesik pada dasarnya hanya menekan rasa sakit dan bersifat sementara. Mintalah obat yang memiliki fungsi menyembuhkan dan bukan sekedar penghilang rasa sakit secara sementara saja.
Mintalah hasil pemeriksaan termasuk hasil laboratorium. Jika tidak diberikan hasil yang asli, mintalah copy pemeriksaan. Hal ini sudah dilindungi dalam UU Kesehatan yang menjamin hak pasien untuk mendapatkan keterangan hasil pemeriksaan secara detail.
Konsultasikan hasil pemeriksaan yang dilakukan secara lengkap pada dokter syaraf. Tidak perlu tergesa-gesa dalam berkonsultasi, karena pasien tidak dilarang untuk meminta penjelasan pada dokter secara lengkap.
Tanyakan tentang terapi yang harus dilakukan untuk mendukung proses penyembuhan selain dengan meminum obat yang diberikan dokter.
Self elbow exercise
Claudication Exercises
PROSEDUR LATIHAN PADA KLAUDIKASI BERKALA
1. Posisi penderita tidur terlentang dengan kedua lutut diluruskan.
Mintalah pasien untuk menggerakkan pergelangan kaki kearah atas sedang kaki yang satunya ke arah bawah. Gerakan dipertahankan selama 6 – 8 hitungan hingga terasa adanya penarikan pd otot-otot betis kemudian rileks.
2. Posisi sda no. 1
Mintalah pasien menggerakkan sendi pergelangan kakinya dengan arah gerakan memutar ke dalam dan kluar. Rangkaian gerakan dilakukan secra perlahan, dngan durasi 6 – 8 detik setap satu siklus gerakan kemudian rileks.
3. Posisi sda no. 1
Mintalah pasien untuk menekuk lututnya kearaah dada yang kemudian dipertahankan oleh pasien dgn memegang lutut selama 6 – 8 hitungan,selanjutnya lakukan pda kaki yg satunya.
4. Posisi penderita duduk diatas tempat tidur dengan kedua tungkai lurus, kemudian mintalah pasien untuk menyentuh ujung jari kaki dan pertahankan selama 6 – 8 hitungan.
5. Posisi penderita duduk disamping bed .
Mintalah pasien untuk meluruskan salah satu sendi lututnya hingga sejajar dgn paha, kemudian perintahkan untuk menggerakkan sendi pergelangan kakinya kearah atas, kebawah, memutar kedalam dan keluar yang setiap gerakannya dipertahankan 6 – 8 hitungan kemudian rileks.lakukan yang sama pd tungkai yg satunya.
6. Posisi sda no. 5
Mintalah pasien untuk menekuksalah satu sendi pangkal paha sekitar 120° , kemudian perintahkan pasien untuk menggerakkan sendi pergelangan kaki pd paha yg ditekuk untuk melakukan gerakan ke atas, ke bawah serta memutar ke luar dan ke dalam secara lambat dan dipertahankan selama 6 – 8 hitungan kemudian rileks.
7. Posisi pasien berdiri.
Mintalah pasien untuk berposisi seperti akan melangkah, dgn satu tunngkai didepan tertekuk sekitar 120°, sedang tungkai yg dibelakang dlm posisi lurus, kemudian lakukan gerakan seperti akan melangkah dimana ujung jari kaki tetap dilantai, sedangkan telapak kaki dan tumit terangkat dari lantai. Pertahankan posisi ini 6 – 8 hitungan kemudian rileks. Lakukan yang sama pada tungkai yang satunya.
8. Posisi sda no. 7
Mintalah pasien untuk merapatkan kedua kakinya dan tangan memegang ujung meja atau tempat tidur, kemudian menjinjit selama 6 – 8 hitungan, selanjutnya dgn kaki tetap jinjit suruh jongkok dan pertahankan 6 – 8 hit setelah itu mintalah untuk berdiri kembali dgn posisi tetap dlm keadaan jinjit dan pertahankan selama 6 – 8 hitungan kemudian rileks.
9. Posisi berdiri dgn satu kaki diletakkan di atas bangku yg tingginya 20 cm, sedng kaki yg satunya tetap dlm keadaan lurus dibelakang.
Mintalah pasien untuk miring kedepan dgn tetap mempertahankan agar tungkai yg dibelakang dlm kedaan lurus, sedang tungkai yg diletakkan pd bangku makin ditekuk serta dipertahankan 6 – 8 hitungan. Lakukn sec. Bergantian.
10. Posisi sda no. 7
Mintalah pasien untuk menekuk salah satu lututnya secara maksimal sehingga betis dan paha saling bertemu, kemudian pegang dgn tangan yg sesisi dr kaki tersebut, selanjutnya tarik kaki tsb. Kebelkang hingga otot pha bagian depan terasa tertarik. Pertahankan selama 6 – 8 hitungan. Lakukan pd tungkai yang satunya.
11. Posisi sda no. 7
Mintalah pasien untuk menunduk kedepan dengan jari-jari tangan berusaha menyentuh ujung jari kaki, pertahankan agar tungkai bawah tetap lurus hingga terasa adanya penarikan otot-otot bagian belakang tungkai. Pertahankan gerakan ini selama 6 – 8 hitungan kemudian rileks.
Glasgow Coma Scale
Penanaman konsep GCS dalam praktek bagi fisioterapi perlu dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus traumatology, baik yang bersifat Direct Traumatic maupun Indirect Traumatic dan neurolgis. Melalui penerapan GCS dalam praktek, akan memberikan gambaran komprehensif dari seorang penderita karena menilai berbagai respon balik yang menjadi representasi akan tingkat kesadaran dan luasnya kerusakan yang terjadi. Segala konsep pemeriksaan perlu dikuasai dan dipahami, baik dari pendekatan SOP maupun interpretasi nilai, sehingga menjadi petunjuk awal dari kondisi pasien dan indikator keberhasilan program tata laksana fisioterapi yang tersusun dengan baik.
• The Glasgow Coma Scale didasarkan pada skala poin 15 untuk mengestimasi dan mengkategorisasikan dampak dari brain injury sebagai asumsi dasar terhadap kemampuan sosial dan ketergantungan dengan orang lain.
• Skala ini dipublikasikan oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, (1974), Profesor neurosurgery di University of Glasgow. (textbook Management of Head Injuries)
• Fokusnya : tes yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran.
• Alat : Inspeksi
• Satuan : Skor 3 s/d 15
Prosedur
• 1. Pasien diminta untuk melaksanakan perintah dari Tester
• 2. Tester menilai respon yang ada, kemudian menjumlahkaannya.
Semakin besar nilainya semakin baik nilai kesadarannya
Tes ini untuk mengukur:
• 1. Respon motorik
• 2. Respon verbal
• 3. Respon pembukaan mata
I. Motor Response
6 - Obeys commands fully
5 - Localizes to noxious stimuli
4 - Withdraws from noxious stimuli
3 - Abnormal flexion, i.e. decorticate posturing
2 - Extensor response, i.e. decerebrate posturing
1 - No response
II. Verbal Response
5 - Alert and Oriented
4 - Confused, yet coherent, speech
3 - Inappropriate words and jumbled phrases consisting of words
2 - Incomprehensible sounds
1 - No sounds
III. Eye Opening
4 - Spontaneous eye opening
3 - Eyes open to speech
2 - Eyes open to pain
1 - No eye opening
Skor akhir adalah dengan menambahkan nilai dari tes I+II+III.
Akumulasi nila akan membantu para fisioterapis untuk mengkatagorisasikan 4 kemungkinan level dari kemungkinan selamat, dimana angka yang rendah menunjukkan beratnya trauma yang terjadi dan jeleknya prognosis untuk sembuh pada pasien
Sebagai rangkaian adalah seperti klasifiksi berikut:
Ringan atau Mild (13-15):
• Menunjukkan gejala-gejala Traumatik Bain Injury yang ringan atau Mild TBI Symptoms
Sedang atau Moderate Disability (9-12):
• Loss of consciousness greater than 30 minutes
• Physical or cognitive impairments which may or may resolve
• Benefit from Rehabilitation
Berat atau Severe Disability (3-8):
• Coma: unconscious state. No meaningful response, no voluntary activities
Kondisi vegetatif atau Vegetative State (Less Than 3):
• Sleep wake cycles
• Aruosal, but no interaction with environment
• No localized response to pain
Kondisi vegetative yang menetap atau Persistent Vegetative State:
• Vegetative state lasting longer than one month
Kematian otak atau Brain Death:
• No brain function
• Specific criteria needed for making this diagnosis
Klasifikasi Koma
• 1. Berat GCS ≤ 8
• 2. Sedang GCS 9 - 12
• 3. Ringan GCS ≥ 13
Koma didefinisikan sebagai keadaan
• (1) tidak dapat membuka mata,
• (2) tidak dapat mengikuti perintah,
• (3) tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti.
PENILAIAN STATUS NEUROLOGIS
Karena para praktisi di bidang kesehatan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pasien, observasi mereka sangat penting dalam menilai perubahan status neurologis. Catatan dasar neurologis sederhana memungkinkan praktisi membandingkan perubahan neurologis yang terjadi. Memastikan pasien stabil, memburuk atau membaik akan menentukan arah pengelolaan pasien. Agar kosisten dalam membandingkan, dipakai format standar seperti GCS. Untuk menilai pasien secara tepat, maka seseorang harus memahami 4 komponen penilaian neurologis praktis : tingkat kesadaran, fungsi motor, reaksi pupil, respirasi beserta tanda vital lainnya.
Tingkat kesadaran adalah indikator terpenting dari fungsi otak pasien dan biasanya memberikan pertanda pertama bahwa kondisi pasien memburuk. Tingkat kesadaran bervariasi dari sadar penuh, mengantuk, gelisah atau tidak bereaksi. Bila sadar penuh, pasien dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan bisa berorientasi atas waktu, tempat dan orang. Pada pasien praverbal, gunakan GCS dengan modifikasi pada unsur verbal. Untuk menilai kesadaran terhadap lingkungan dan refleks, refleks isap bisa membatu menetukan derajat respons pasien. Tahap pertama perburukan diketahui bila anak menjadi gelisah, susah dibangunkan dan bereaksi lambat atau tidak tepat terhadap pertanyaan. Bila harus memberikan rangsang nyeri untuk mendapatkan respons, keadaan pasien nyata telah memburuk.
Indikator kedua yang digunakan adalah fungsi motor. Apakah anak mampu menggerakkan keempat anggotanya dengan kekuatan yang sama dan dengan terkontrol? Pada bayi, periksa kemampuan memegang botol dan atau refleks memegang. Pada anak lebih besar periksa kekuatan, ekualitas bilateral serta kemampuan melepas genggaman tangan. Untuk memeriksa kelemahan yang sangat ringan, suruh anak merentangkan tangannya kedepan sambil menyuruh menutup matanya. Bila ada kelemahan, anggota yang lemah akan bergerak kebawah. Bila satu sisi menjadi lebih buruk, berarti pasien mengalami perburukan neurologis. Periksa juga kesimetrisan wajah.
Indikator fungsi otak ketiga adalah mata (gerak bola mata dan respons pupil). Normalnya pupil ukurannya sama dan bereaksi jelas terhadap sinar. Pupil yang melebar dan bereaksi lambat merupakan masalah serius terutama bila bersama dengan penurunan derajat kesadaran. Gerak mata dicatat pada lembar pengamatan.
Indikator keempat adalah perubahan respirasi dan tanda-tanda vital lainnya. Respirasi akan melambat bila tekanan intrakranial meningkat. Melebarnya tekanan nadi yaitu bertambahnya selisih tekanan sistolik dan diastolik, serta bradikardia juga merupakan tanda lain dari peninggian Tekanan intra cranial. Perubahan tanda-tanda vital biasanya berakibat perubahan yang jelas dari tingkat kesadaran pasien dan dokter harus segera diberitahu perburukan pasien tsb.
Bila status neurologis pasien tidak stabil, tanda-tanda vital neurologis harus diinterpretasikan dan dicatat secara berkala. Pencatatan tanda-tanda neurologis berkisar antara setiap 15 menit dan 2 jam. Bila keadaan cukup stabil, tidak perlu memantau lebih cepat dari setiap 2 jam, namun pengamatan visual tetap merupakan hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan sampai diyakini bahwa keadaan telah membaik.
Senam Ergonomi
Makalah Ilmiah
Workshop “Nerve Mobilitation” dan Temu Alumni Fisioterapi
Ergonomic Exercises Pasca Nerve Mobilitation
Oleh Anshar Ramada Teja
Makassar, 12 Maret 2009
Rasionalisasi
Ergonomic adalah pendekatan natural dalam bekerja, dimana seseorang setelah bekerja akan mengalami kelelahan. Kelelahan ini tentu saja akan mengakibatkan berkurangnya “performance” seseorang dan perlu diantisipasi dengan pendekatan istirahat yang sesuai dengan “Hukum alamiah dalam bekerja”.
Umumnya pekerjaan saat ini menciptakan hipomobility dan cenderung memberikan pembebanan static, misalnya:
Hasil penelitian di Singapura, para tenaga kerja banyak yang menderita Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%, demikian pula penelitian di Paris terhadap 1505 tenaga kerja, 16 % mengalami gangguan musculoskeletal dan 47% diantaranya didominasi oleh gangguan hipomobility. Keadaan ini cenderung menjadi Trigger factor pada kasus Cummulative Traumatik Disorder (CTD).
Ergonomic exercises
Latihan ergonomic ( Ergonomic exercises) didisain untuk digunakan saat masa istirahat kerja di tempat kerja (workstation area) dan dapat membantu untuk mengurangi rasa kurang nyaman pada seseorang karyawan, karena melalui disain ini dapat memfasilitasi berkurangnya sakit kepala, strain pada mata, leher, punggung dan pinggang, bahu dan nyeri pada pergelangan tangan
Ergonomic exercises berbentuk latihan-latihan yang singkat dan dapat dilakukan secara regular saat waktu-waktu tertentu (istirahat) di tempat kerja.
Tujuan Ergonomic exercises adalah tercapainya “pain-free movement” melalui
Pembebasan iritasi saraf dan perbaikan fleksibilitas saraf
Mencegah pembebanan statik
Normalisasi mikrosirkulasi saraf
Koreksi postural
Mobilisasi sendi, jaringan lunak
Prinsip neurofisiologi dari Ergonomic exercises
Disain Ergonomic exercises menggunakan prinsip Contraction-Hold-Relax adalah proses penyesuian terhadap karakteristik neurofisiologis dari jaringan konraktil, seperti:
1. The Muscle spindle (organ sensoris utama dari otot dan tersusun dari serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal). Muscle spindle memonitor kecepatan dan durasi penguluran.
2. The Golgi tendo organ (GTO) (merupakan organ yang sensitif terhadap “Tension” otot, dimana saat tension otot berhasil ditimbulkan secara kuat, maka GTO akan menstimulasi rileksasi otot)
Perlu diingat, bahwa latihan ini tidak boleh menimbulkan rasa nyeri dan rasa kurang nyaman.
Mengapa Kita Harus Melakukan Ergonomic Exercises
Seringkali dilupakan bahwa kasus yang ditangani oleh fisioterapis berupa perasaan kurang enak dan limitasi gerak fungsional setelah diberikan treatment yang adekuat seperti nerve mobilitation beberapa saat akan menunjukkan kemajuan yang berarti. Tetapi beberapa hari kemudian akan muncul kembali. Tentunya hal ini akan menimbulkan rasa frustasi bagi kedua belah pihak (fisioterapis dan klien), sehingga dibutuhkan analisis mendalam dan komprehensif segala faktor yang terkait dalam pengentasan masalah klien. Sebagai salah satu rekomendasi yang perlu diberikan adalah perubahan mindset untuk memahami aspek latihan mandiri dan terkontrol, misalnya dengan ergonomic exercises.
Petunjuk latihan Ergonomic exercises
• Kontraksi otot dengan kuat dan rasakan kontraksi tersebut
• Tahan kontraksi otot tersebut selama 5-10 second
• Lemaskan otot tersebut sampai terasa rileks
• Ulangi latihan tersebut sekali lagi
Prosedur Ergonomic Exercises
A. Tangan dan Pergelangan Tangan
Latihan 1
Ekstensi tangan kemudian buatlah genggaman pada tangan.
Latihan 2
Bengkokkan tangan pada sendi metacarpophalangeal, kemudian pertahankan agar jari-jari tersebut tetap lurus lalu ekstensikan.
Latihan 3
Saling genggamkan kedua tangan, putar tangan hingga telapak tangan menghadap ke atas lalu pertahankan posisi tersebut. Lanjutkan dengan memutar hingga telapak tangan menghadap ke bawah.
Latihan 4
Sendi siku dalam keadaan lurus, pegang tangan dengan tangan yang satu. Tekuk sendi pergelangan tangan sambil mempertahankan posisi tersebut beberapa saat. Pindahkan tangan ke sisi telapak tangan dan dorong ke atas ke arah ekstensi sendi pergelangan tangan dengan tetap mempertahankan posisi tersebut beberapa saat. Lakukan pada ke dua tangan
B. Bahu dan Leher
Latihan 1
Dalam posisi duduk, angkat kedua siku ke atas dan kedua tangan saling digenggamkan di belakang kepala. Tarik siku ke belakang hingga terasa penguluran, kemudian kembalikan posisi siku ke depan hingga keduanya saling bertemu.
Latihan 2
Duduk, posisikan kedua siku sejajar dengan level ketinggian bahu, bengkokkan kedua lengan hingga tangan menyentuh bahu. Kemudian luruskan kembali
Latihan 3
Dalam posisi duduk di atas kursi kerja. Pertemukan kedua tangan dlam keadaan ekstensi di atas kepala, kepala dalam keadaan rileks dan secara perlahan melakukan laterofleksi ke kanan dan kiri. Pertahankan agar posisi tubuh tetap dalam keadaan lurus.
Latihan 4
Dalam posisi duduk, rilekskan bahu kemudian angkat kedua bahu ke atas dan pendekkan leher.
Latihan 5
Duduk dengan kedua tangan pada bagian belakang badan. Satu tangan diletakkan di antara kedua scapula, tangan yang lain mendorong ke bawah dengan dorongan di sekitar siku. Ganti dengan sisi yang lainnya.
Latihan 6
Posisi berdiri atau duduk; palingkan kepala ke kanan dan ke kiri. Pertahankan agar kepala dan tulang belakang tetap lurus.
C. Anggota Gerak Atas
Latihan 1
Duduk, satu tangan menyilangi dada sedangkan tangan yang lain menekan di siku. Palingkan kepala ke arah bahu dari tangan yang sedang diberikan tekanan. Ulangi untuk tangan yang sebelahnya.
Latihan 2
Duduk, kedua siku diangkat selevel ketinggian bahu, putar badan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan yang perlahan
Latihan 3
Duduk, kedua siku diangkat sebatas level bahu dan tekuk kedua siku hingga tangan saling bertemu di depan dada. Luruskan legan ke samping dan belakang. Kembalikan kedua lengan ke depan.
D. Pengurangan Ketegangan
Latihan 1
Posisi duduk di kursi, kedua kaki menapak di atas lantai dan tangan di letakkan di kedua lutut. Ekstensikan kedua tungkai dan lengan hingga terulur sepenuhnya, jari-jari tangan dan jari-jari kaki ekstensi kemudian kembali ke keadaan semula lalu rileks.
Latihan 2
Duduk. Secara bergantian ibu jari kaki disentuh dengan tangan yang kontralateral. Sementara tangan yang ipsilateral ke arah atas kepala, sehingga terjadi penguluran secara nyaman pada area trunkus. Kepala harus berpaling melihat tangan yang diangkat
Latihan 3
Ambil waktu sejenak untuk berdiri sambil berjalan beberapa saat untuk membantu meluruskan badan serta melatih tungkai secara general.
Latihan 4
Posisi duduk, kedua tangan disisi belakang badan, satu di sisi atas bahu dan satunya di sisi bawah bahu. Berusahalah untuk saling mempertemukan kedua tangan tersebut. Lakukan untuk tangan satunya dan ulangi latihan tersebut
Rekomendasi tambahan dalam pencegahan CTD pada klien adalah:
• Hindari beban kerja static saat bekerja
• Beban angkat dan angkut tidak melebihi standar ILO
• Pada pekerja computer, istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
• Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
• Lakukan peregangan dan senam saat istirahat (ergonomic exercises)
Referensi:
Carolyn Kisner dan Lynn Allen Colby, 1996, Therapeutic Exercises Foundations and Techniques, 3rd Edition, F.A. Davis Company, Philadelphia, USA
Tarwaka dkk, 2004, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, Uniba Press, Surakarta, Indonesia
Noor Fitriana, Bekerja di depan Komputer yng ergonomis, diakses dari www.batikjogja wordpress.com tanggal 5 januari 2009
Occupational Health, Safety and Welfare, 2009, Ergonomic Exercises, Hampshire Fire and Rescue Service, diakses dari www.ergonomic.com tanggal 20 Januari 2009
Osteo artritis
Osteoarthritis ditandai oleh nyeri yang biasa pada tangan dan sendi-sendi seperti lutut, hip, dan tulang belakang. Prevalensi penyakit ini paling banyak pada individu dengan usia 45 tahun ke atas. Perempuan paling banyak menderita OA
Apa itu OA?
Penyakit sendi degenerative, OA adalah salah satu bentuk arthritis yang paling tua. Penyakit ini menimbulkan kerusakan kartilago yng ditemukan dalam persendian. Kerusakan ini melepaskan penghalang antara tulang dan menyebabkan kedua tulang saling bergesekan, sehingga menimbulkan rasa nyeri dan bahkan hilangnya gerak. Gejala-gejala termasuk rasa nyeri (kadang setelah latihan atau adanya masa pembebanan yang lama pada sendi penumpuh berat badan) dan menghambat atau bahkan menghilangkan jarak gerak sendi.
Ketika permukaan kartilago yang mengalami kerusakan, lutut yang rusak akan mengalami deformitas seperti bowleggedness (varus) atau knock knees (valgus). Deformitas ini akan dapat memberikan kontribusi rasa nyeri dan hilangnya fungsi sendi lutut.
Bagaimana sampai seseorang menderita Osteoarthritis?
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya dan menjeleknya penyakit tersebut:
Faktor resiko termasuk:
• Penuaan
• Obesitas
• Trauma sendi (olah raga, kerja atau kecelakaan)
• Genetika
Bagaimana sampai seseorang mengetahui bahwa dirinya mengalami osteoarthritis?
Seseorang harus mencari suatu diagnosis dari seorang dokter. Setelah pemeriksaan fisik dan rincian gejala yang telah didiskusikan, dokter kemungkinan akan merekomendasikan X-foto untuk mengkonfirmasikan keberadaan penyakit tersebut.
Bagaimana opsi pengobatan OA?
Opsi pengobatan OA, termasuk:
• Latihan pada sendi dan otot untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
• Penatalaksanaan berat badan untuk menurunkan pembebanan pada sendi
• Pengobatan dengan obat Anti-inflammatory untuk kasus penyakit sendi degenerative
• Terapi panas/dingin
• Synovectomy (bedah pengeluaran jaringan synovial yang meradang)
• Osteotomy (restrukturisasi tulang pada area yang mengalami pembebanan berat badan agar menjadi jaringan yang lebih sehat)
• Partial knee replacements (unicompartmental knee – pelepasan bagian dari sendi yang mengalami gangguan sendi)
• Total knee replacement (diberikan jika OA yang terjadi sangat berat)
Bagaimana Aktivitas fungsional dan Rekreasinya?
Opsi AFR
• Berenang
• Jogging terukur
• Bersepeda
• Disain layout rumah
Skala Keseimbangan Berg
Description:
14-item scale designed to measure balance of the older adult in a clinical setting.
Equipment needed: Ruler, 2 standard chairs (one with arm rests, one without)
Footstool or step, Stopwatch or wristwatch, 15 ft walkway
Completion:
Time: 15-20 minutes
Scoring: A five-point ordinal scale, ranging from 0-4. “0” indicates the lowest level
of function and “4” the highest level of function. Total Score = 56
Interpretation: 41-56 = low fall risk
21-40 = medium fall risk
0 –20 = high fall risk
Criterion Validity:
“Authors support a cut off score of 45/56 for independent safe ambulation”.
Riddle and Stratford, 1999, examined 45/56 cutoff validity and concluded:
• Sensitivity = 64% (Correctly predicts fallers)
• Specificity = 90% (Correctly predicts non-fallers)
• Riddle and Stratford encouraged a lower cut off score of 40/56 to assess fall risk
Comments: Potential ceiling effect with higher level patients. Scale does not include gait items
Norms:
Lusardi, M.M. (2004). Functional Performance in Community Living Older Adults.
Journal of Geriatric Physical Therapy, 26(3), 14-22.
Berg Balance Scale
Name: __________________________________ Date: ___________________
Location: ________________________________ Rater: ___________________
ITEM DESCRIPTION SCORE (0-4)
Sitting to standing ________
Standing unsupported ________
Sitting unsupported ________
Standing to sitting ________
Transfers ________
Standing with eyes closed ________
Standing with feet together ________
Reaching forward with outstretched arm ________
Retrieving object from floor ________
Turning to look behind ________
Turning 360 degrees ________
Placing alternate foot on stool ________
Standing with one foot in front ________
Standing on one foot ________
Total ________
GENERAL INSTRUCTIONS
Please document each task and/or give instructions as written. When scoring, please record the lowest response category that applies for each item.
In most items, the subject is asked to maintain a given position for a specific time. Progressively more points are deducted if:
• the time or distance requirements are not met
• the subject’s performance warrants supervision
• the subject touches an external support or receives assistance from the examiner
Subject should understand that they must maintain their balance while attempting the tasks. The choices of which leg to stand on or how far to reach are left to the subject. Poor judgment will adversely influence the performance and the scoring.
Equipment required for testing is a stopwatch or watch with a second hand, and a ruler or other indicator of 2, 5, and 10 inches. Chairs used during testing should be a reasonable height. Either a step or a stool of average step height may be used for item # 12.
Berg Balance Scale
SITTING TO STANDING
INSTRUCTIONS: Please stand up. Try not to use your hand for support.
( ) 4 able to stand without using hands and stabilize independently
( ) 3 able to stand independently using hands
( ) 2 able to stand using hands after several tries
( ) 1 needs minimal aid to stand or stabilize
( ) 0 needs moderate or maximal assist to stand
STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Please stand for two minutes without holding on.
( ) 4 able to stand safely for 2 minutes
( ) 3 able to stand 2 minutes with supervision
( ) 2 able to stand 30 seconds unsupported
( ) 1 needs several tries to stand 30 seconds unsupported
( ) 0 unable to stand 30 seconds unsupported
If a subject is able to stand 2 minutes unsupported, score full points for sitting unsupported. Proceed to item #4.
SITTING WITH BACK UNSUPPORTED BUT FEET SUPPORTED ON FLOOR OR ON A STOOL
INSTRUCTIONS: Please sit with arms folded for 2 minutes.
( ) 4 able to sit safely and securely for 2 minutes
( ) 3 able to sit 2 minutes under supervision
( ) 2 able to able to sit 30 seconds
( ) 1 able to sit 10 seconds
( ) 0 unable to sit without support 10 seconds
STANDING TO SITTING
INSTRUCTIONS: Please sit down.
( ) 4 sits safely with minimal use of hands
( ) 3 controls descent by using hands
( ) 2 uses back of legs against chair to control descent
( ) 1 sits independently but has uncontrolled descent
( ) 0 needs assist to sit
TRANSFERS
INSTRUCTIONS: Arrange chair(s) for pivot transfer. Ask subject to transfer one way toward a seat with armrests and one way toward a seat without armrests. You may use two chairs (one with and one without armrests) or a bed and a chair.
( ) 4 able to transfer safely with minor use of hands
( ) 3 able to transfer safely definite need of hands
( ) 2 able to transfer with verbal cuing and/or supervision
( ) 1 needs one person to assist
( ) 0 needs two people to assist or supervise to be safe
STANDING UNSUPPORTED WITH EYES CLOSED
INSTRUCTIONS: Please close your eyes and stand still for 10 seconds.
( ) 4 able to stand 10 seconds safely
( ) 3 able to stand 10 seconds with supervision
( ) 2 able to stand 3 seconds
( ) 1 unable to keep eyes closed 3 seconds but stays safely
( ) 0 needs help to keep from falling
STANDING UNSUPPORTED WITH FEET TOGETHER
INSTRUCTIONS: Place your feet together and stand without holding on.
( ) 4 able to place feet together independently and stand 1 minute safely
( ) 3 able to place feet together independently and stand 1 minute with supervision
( ) 2 able to place feet together independently but unable to hold for 30 seconds
( ) 1 needs help to attain position but able to stand 15 seconds feet together
( ) 0 needs help to attain position and unable to hold for 15 seconds
Berg Balance Scale continued…..
REACHING FORWARD WITH OUTSTRETCHED ARM WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Lift arm to 90 degrees. Stretch out your fingers and reach forward as far as you can. (Examiner places a ruler at the end of fingertips when arm is at 90 degrees. Fingers should not touch the ruler while reaching forward. The recorded measure is the distance forward that the fingers reach while the subject is in the most forward lean position. When possible, ask subject to use both arms when reaching to avoid rotation of the trunk.)
( ) 4 can reach forward confidently 25 cm (10 inches)
( ) 3 can reach forward 12 cm (5 inches)
( ) 2 can reach forward 5 cm (2 inches)
( ) 1 reaches forward but needs supervision
( ) 0 loses balance while trying/requires external support
PICK UP OBJECT FROM THE FLOOR FROM A STANDING POSITION
INSTRUCTIONS: Pick up the shoe/slipper, which is place in front of your feet.
( ) 4 able to pick up slipper safely and easily
( ) 3 able to pick up slipper but needs supervision
( ) 2 unable to pick up but reaches 2-5 cm(1-2 inches) from slipper and keeps balance
independently
( ) 1 unable to pick up and needs supervision while trying
( ) 0 unable to try/needs assist to keep from losing balance or falling
TURNING TO LOOK BEHIND OVER LEFT AND RIGHT SHOULDERS WHILE STANDING
INSTRUCTIONS: Turn to look directly behind you over toward the left shoulder. Repeat to the right. Examiner may pick an object to look at directly behind the subject to encourage a better twist turn.
( ) 4 looks behind from both sides and weight shifts well
( ) 3 looks behind one side only other side shows less weight shift
( ) 2 turns sideways only but maintains balance
( ) 1 needs supervision when turning
( ) 0 needs assist to keep from losing balance or falling
TURN 360 DEGREES
INSTRUCTIONS: Turn completely around in a full circle. Pause. Then turn a full circle in the other direction.
( ) 4 able to turn 360 degrees safely in 4 seconds or less
( ) 3 able to turn 360 degrees safely one side only 4 seconds or less
( ) 2 able to turn 360 degrees safely but slowly
( ) 1 needs close supervision or verbal cuing
( ) 0 needs assistance while turning
PLACE ALTERNATE FOOT ON STEP OR STOOL WHILE STANDING UNSUPPORTED
INSTRUCTIONS: Place each foot alternately on the step/stool. Continue until each foot has touch the step/stool four times.
( ) 4 able to stand independently and safely and complete 8 steps in 20 seconds
( ) 3 able to stand independently and complete 8 steps in > 20 seconds
( ) 2 able to complete 4 steps without aid with supervision
( ) 1 able to complete > 2 steps needs minimal assist
( ) 0 needs assistance to keep from falling/unable to try
STANDING UNSUPPORTED ONE FOOT IN FRONT
INSTRUCTIONS: (DEMONSTRATE TO SUBJECT) Place one foot directly in front of the other. If you feel that you cannot place your foot directly in front, try to step far enough ahead that the heel of your forward foot is ahead of the toes of the other foot. (To score 3 points, the length of the step should exceed the length of the other foot and the width of the stance should approximate the subject’s normal stride width.)
( ) 4 able to place foot tandem independently and hold 30 seconds
( ) 3 able to place foot ahead independently and hold 30 seconds
( ) 2 able to take small step independently and hold 30 seconds
( ) 1 needs help to step but can hold 15 seconds
( ) 0 loses balance while stepping or standing
STANDING ON ONE LEG
INSTRUCTIONS: Stand on one leg as long as you can without holding on.
( ) 4 able to lift leg independently and hold > 10 seconds
( ) 3 able to lift leg independently and hold 5-10 seconds
( ) 2 able to lift leg independently and hold ≥ 3 seconds
( ) 1 tries to lift leg unable to hold 3 seconds but remains standing independently.
( ) 0 unable to try of needs assist to prevent fall
( ) TOTAL SCORE (Maximum = 56)
Dekubitus
DEKUBITUS ULCES PASIEN POST STROKE
Kita kehilangan sekitar satu gram sel kulit setiap harinya karena gesekan kulit pada baju dan aktivitas higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi.
Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada penderita stroke dan lansia, karena masalah imobilitas.
Seseorang yang tidak im-mobil yang dan tidak hanya berbaring ditempat tidur sampai berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam sejam. Penggantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur.
Sedangkan im-mobilitas hampir menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan umum dari penderita.
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Walaupun semua bagian tubuh mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khsus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Dinegara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.
Pasien stroke dan usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan immobilitas tersebut, antara lain:
• Berkurangnya jaringan lemak subkutan
• Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
• Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
TIPE ULKUS DEKUBITUS
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga;
1. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.
2. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh.
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DEKUBITUS
Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjammnya.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus;
• Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring
• Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya.
Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat.
Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces.
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.
Faktor tubuh sendiri (faktor intrinsik) juga berperan untuk terjadinya dekubitus antara lain;
FAKTOR INTRINSIK
• Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990)
• Penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, seperti stroke sehingga juga mempermudah dan memperjelek dekubitus
• Kandungan kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan.
• Kemampuan sistem kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.
• Sejumlah penyakit yang menimbulkan seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit menurun.
• Status gizi, underweight atau kebalikannya overweight
• Anemia
• Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akam menyebabkan kadar albumin darah menurun
• Keadaan hidrasi/cairan tubuh perlu dinilai dengan cermat.
FAKTOR EKSTRINSIK
• Kebersihan tempat tidur,
• alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
• Duduk yang buruk
• Posisi yang tidak tepat
• Perubahan posisi yang kurang
PENAMPILAN KLINIS DARI DEKUBITUS
Karakteristik penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut;
Derajat I Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.
Derajat II Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemah subkutan, tampak sebagai ulkus yang dangkal, degan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.
Derajat III Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.
Derajat IV Perluasan ulkus menembus otot, hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.
Mengingat patofisiologi terjadinya dekubitus adalah penekanan pada daerah-daerah tonjolan tulang, harusla diingat bahwa kerusakan jaringan dibawah tempat yang mengalami dekubitus adalah lelih luas dari ulkusnya.
Jika tidak ditangani dengan baik, maka dekubitus dapat meningkat dari iritasi yang kecil tanpa disertai dengan robeknya kulit sampai tahap yang dapat mengancam jiwa pasien, baik oleh luasnya kerusakan kulit maupun infeksi.
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf/deficit neurologik akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak. Secara sederhana stroke didefinisi sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan atau perdarahan, dengan gejala lemas / lumpuh sesaat atau gejala berat sampai hilangnya kesadaran, dan kematian. Stroke bisa berupa iskemik maupun perdarahan (hemoragik).
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerotik atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah, melaui proses aterosklerosis. Pada stroke pendarahan (hemoragik), pembuluh darah pecah sehingga aliran darah menjadi tidak normal, dan darah yang keluar merembes masuk ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.
Secara detil gejala dan tanda stroke adalah:
• Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa Kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh. Baal atau mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, terasa seperti terkena cabai, rasa terbakar
• Mulut, lidah mencong bila diluruskan
• Gangguan menelan : sulit menelan, minum suka keselek
• Bicara tidak jelas (rero), sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan atau gangguan bicara berupa pelo, sengau, ngaco, dan kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang terucap
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
• Tidak memahami pembicaraan orang lain
• Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan
• Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh
• Hilangnya kendalian terhadap kandung kemih, kencing yang tidak disadari
• Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil
• Menjadi pelupa ( dimensia)
• Vertigo ( pusing, puyeng ), atau perasan berputar yang menetap saat tidak beraktifitas
• Awal terjadinya penyakit (Onset) cepat, mendadak dan biasanya terjadi pada saat beristirahat atau bangun tidur
• Hilangnya penglihatan, berupa penglihatan terganggu, sebagian lapang pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda sesaat
• Kelopak mata sulit dibuka atau dalam keadaan terjatuh
• Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga atau pendengaran berkurang
• Menjadi lebih sensitif: menjadi mudah menangis atau tertawa
• Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur
• Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik, sempoyongan, atau terjatuh
• Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri
Jadi perlu diperhatikan titik potensial untuk terjadinya dekubitus pada pasien post stroke
PENGELOLAAN DEKUBITUS
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita;
umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.
khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah;
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b. Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat ruasak)
c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain;
• Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi.
• Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita, “kue donat” untuk tumit,
• Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita.
d. Pemberian electrical stimulation
woundEL®-therapy atau electrical stimulation pada kasus ulcer adalah kombinasi yang efektif, dimana digunakan impuls LF DC dan dapat diaplikasikan baik pada pengobatan kasus akut, subakut dan luka kronis.
woundEL®-therapy terdiri dari alat terapi stimulasi dengan electrode yang dibalut dan electrode yang dicelupkan. Elektrode yang kontak dengan luka adalah electrode yang dibalut dengan balutan steril lapisan medical grade hydrogel yang tidak hanya melembabkan luka tetapi juga mengabsorbsi cairan luka yang berlebihan
Bagitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis;
kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal;
Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik.
Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi.
Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi,
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi;
Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar.
Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit.
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik;
Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan , sebaba akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka,
Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.
SKOR APGAR
Skor Apgar ditetapkan dengan mengevaluasi bayi baru lahir berdasarkan lima kriteria dengan skala 0-2, lalu menjumlahkan kelima kriteria tersebut. Skor Apgar keseluruhan berkisar antara 0 sampai 10. Kelima kriteria tersebut (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) digunakan agar lebih mudah diingat.
• Skor diberikan untuk setiap tanda-tanda pada 1 menit dan 5 menit setelah lahir
• Jika ada masalah dengan bayi, maka skor tambahan dibuat setelah 10 menit
Skor APGAR
Tanda-Tanda dan Penilaiannya
A Activity (Muscle Tone) = Hilang(0) Lengan dan kaki tertekuk(1) Gerakan aktif (2)
P Pulse = Hilang (0) < 100 x/menit (1) > 100 x/menit (2)
G Grimace (Reflex Irritability) = Tidak ada respon (0) Menyeringai (1) Bersin, Batuk, Menyentak (2)
A Appearance (Skin Color) = Biru-kelabu,pucat seluruh tubuh (0) Normal, kecuali untuk anggota gerak (1) Normal untuk seluruh tubuh (2)
R Respiration = Hilang (0) Lambat dan tdk teratur (1) Baik dan menangis (2)
Klasifikasi Skor
• Skor 7-10 : Normal
• Skor 4-7 : Membutuhkan beberapa bantuan resusitasi yang terukur
• Skor < 3 : Butuh resusitasi dengan segera
Interpretasi Skor Tes
ini biasanya dilakukan pada menit pertama dan kelima setelah lahir, dan dapat diulang kemudian jika skornya rendah atau tetap rendah.
• Skor 3 dikategorikan rendah,
• Skor 4-6 agak rendah, dan Skor 7-10 umumnya normal.
Skor yang rendah pada menit pertama dapat menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir memerlukan perhatian medis, namun belum tentu mengindikasikan terdapat masalah jangka panjang, terutama bila kondisi menunjukkan adanya perkembangan setelah lima menit pertama
Jika skor Apgar tetap di bawah 3 pada waktu-waktu berikutnya, misal pada menit ke 10, 15, atau 30, terdapat resiko bahwa anak akan mengalami kerusakan neurologis jangka panjang
Praktisi fisioterapi pediatri tentulah harus lebih giat dan cerdas menganalisis Skor APGAR dan juga tentunya didukung oleh tes-tes lain yang berkaitan dengan tes tumbuh kembang anak.
METABOLISME OTAK
Seperti jaringan lain, otak memerlukan O2 dan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya. Namun demikian, terdapat keunikan metabolisme otak yang perlu diperhatikan.
Kecepatan metabolisme otak total dan kecepatan metabolisme neuron. Dalam keadaan istirahat (sadar), metabolisme otak kira-kira mencapai 15 % dari seluruh metabolisme dalam tubuh walaupun massa otak hanya 2 % dari massa tubuh total. Oleh karena itu, metabolisme otak per unit massa jaringan kira-kira 7,5 kali metabolisme rata-rata jaringan selain sistem saraf dalam keadaan istirahat. Sebagian besar kelebihan metabolisme otak terjadi di neuron bukan di jaringan penyangga glia. Kebutuhan utama untuk berlangsungnya metabolisme di neuron adalah pemompaan ion melalui membran neuron terutama untuk mengangkut Na+ dan Ca2+ ke bagian luar membran neuron dan K+ ke bagian dalam. Setiap kali neuron menghantarkan potensial aksi, ion-ion ini bergerak melalui membran yang meningkatkan kebutuhan transpor membran untuk memulihkan konsentrasi ion yang sesuai. Oleh karena itu, metabolisme neuron dapat meningkat sebesar 100-150 % ketika aktivitas otak berlebih.
Kebutuhan khusus otak terhadap O2. Kebanyakan jaringan tubuh dapat “hidup” tanpa O2 selama beberapa menit dan sebagian jaringan lain sampai 30 menit. Selama waktu itu, jaringan sel memperoleh energinya melalui proses metabolisme anaerob yang berarti pelepasan energi dari pemecahan sebagian glukosa dan glikogen tanpa adanya penggabungan zat-zat tersebut dengan O2. Pengiriman energi ini hanya terjadi pada pemakaian sejumlah besar glukosa dan glikogen. Akan tetapi, hal ini dapat menjaga agar jaringan tetap hidup.
Otak tidak mampu melangsungkan metabolisme anaerob selama itu. Salah satu alasan untuk hal tersebut adalah tingginya kecepatan metabolisme neuron sehingga sebagian besar aktivitas neuron bergantung pada pengiriman O2 detik demi detik dari darah. Dengan merangkum faktor ini bersama-sama, kita dapat mengerti mengapa penghentian aliran darah ke otak atau kehilangan O2 yang tiba-tiba dalam darah dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5-10 detik.
Dalam kondisi normal, sebagian besar energi otak disuplai oleh glukosa. Dalam kondisi normal, hampir seluruh energi yang digunakan oleh sel otak disuplai oleh glukosa yang berasal dari darah. Seperti O2, sebagian besar glukosa berasal dari darah kapiler menit demi menit dan detik demi detik dengna jumlah total hanya sekitar dua menit suplai glukosa yang normalnya disimpan sebagai glikogen dalam neuron di setiap saat.
Ciri khas pengiriman glukosa ke neuron adalah bahwa transpornya ke dalam neuron melalui membran tidak bergantung pada insulin meskipun insulin dibutuhkan untuk pengangkutan glukosa ke dalam sebagian besar sel tubuh lainnya. Oleh karena itu, pada pasien yang menderita diabetes berat oleh sekresi insulin yang mencapai nol, glukosa masih berdifusi dengan mudah ke dalam neuron yang sangat bermanfaat untuk mencegah hilangnya fungsi mental pada pasien diabetes. Akan tetapi, bila pasien diabetes diberi insulin secara berlebihan, konsentrasi glukosa darah dapat menjadi sangat rendah karena kelebihan insulin menyebabkan hampir seluruh glukosa dalam darah ditranspor dengan cepat ke dalam sejumlah besar sel selain saraf yang sensitif insulin ke seluruh tubuh, khususnya ke dalam sel otot dan sel hati. Bila hal ini terjadi, glukosa yang tersisa dalam darah tidak cukup untuk menyuplai neuron dengan baik dan fungsi mental kemudian menjadi sangat terganggu, kadang-kadang sampai menyebabkan koma dan bahkan lebih sering menimbulkan ketidakseimbangan mental serta gangguan psikotik—semua gangguan tersebut disebabkan oleh terapi yang berlebihan dengan insulin.
PERBANDINGAN PENGARUH TINDAKAN TRANSVERSAL DAN INTERFERENRTIAL CURRENT THERAPY TERHADAP PENGURANGAN INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA TRAUMATIC INJURY
1. Latar Belakang
Peranan jaringan lunak pada tubuh dalam arti sehat dan sakit sangatlah penting terutama dalam melakukan setiap aktivitas sehari-hari, seperti halnya pada jaringan otot, fascia, ligament, dan jaringan connective tissue lainnya yang berfungsi mengefisiensikan biomekanik tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi gangguan pada jaringan lunak maka akan menimbulkan gejala seperti nyeri, oedem, nodulus, dan perubahan warna kulit, serta perubahan suhu dan jaringan organ tubuh yang terganggu melalui sistem reflekstoar (Stanley Lief hal 167, 1997 ).
Namun diantara gejala tersebut, nyerilah yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik sebagai keluhan utama dari penderita seperti adanya nyeri pada otot intercostalis akibat traumatic injury yang dikategorikan sebagai gejala. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya penurunan aktivitas fungsional dan ketidak mampuan penderita dalam menyelesaikan tugas-tugasnya setiap harinya.
Dengan memberikan layanan Fisioterapi pada kondisi-kondisi yang sifatnya traumatic injury pada soft tissue seperti pada otot intercostalis maka didapatkan hasil yang sangat memuaskan dimana dari 37 orang yang mengalami traumatic injury pada otot intercostalis, 32 orang diantaranya sudah sembuh dengan penurunan nyeri VAS dibawah dari 3 dengan frekuensi terapi sebanyak tiga kali dalam seminggu dan dilakukan selama dua minggu (Data Poliknik Fisioterapi Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar September 2006).
Dari data diatas digambarkan bahwa untuk peran fisioterapi pada kondisi traumatic injury pada soft tissue sangatlah penting, karena dengan layanan Fisioterapi kita dapat meminimalkan penggunaan obat-obatan yang sifatnya kimia seperti obat-obat analgetik. Adapun modalitas yang biasanya di aplikasikan terhadap penderita yaitu penerapan alat interferential current theraphy dan transversal friction (manual terapi) dalam menurunkan nyeri dan mempercepat proses penyembuhan pada jaringan lunak.
Untuk penggunaan Transversal friction dan interferential current theraphy memang sudah sering digunakan dalam mengatasi penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury untuk soft tissue, namun sejauh mana pengaruh transversal friction dan interferential current theraphy terhadap kondisis traumatic injury pada soft tissue dalam menurunkan intensitas nyeri belum ada data atau penelitian yang mengembangkan dan memberikan gambaran mengenai hal tersebut diatas.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang sejauh mana ”Perbandingan pengaruh tindakan transversal friction dan interferential current theraphy terhadap pengurangan intensitas nyeri pada penderita traumatic injury”.
1. Patologi Traumatic Injury pada Soft Connectif Tissue
Jaringan lunak adalah satu dari empat jaringan dasar dari tubuh dan mencangkup fungsi tubuh secara umum ( Clancy dan Mc. Vicar, 1995 ) yaitu :
1. Melindungi organ yang halus yang ada disekitar jaringan lunak tersebut.
2. Merupakan pembentuk dari kerangka tubuh manusia
3. Sebagai alat pendukung dan pengikat antara jenis jaringan lunak yang lain pada tubuh.
4. Sebagai alat transportasi bahan dari satu jaringan kejaringan lain.
5. Sebagai pertahanan internal terhadap serangan pathologic.
Untuk proses penyembuhan dari cidera jaringan lunak melalui beberapa tahap (Dandy,1993) yaitu :
1. Pada saat terjadi cidera pembuluh darah robek, kemudian akan terisi bekuan darah dan pembuluh darah terjadi vasodilatasi.
2. Selama 2-3 hari pertama, batas luka terisi dengan macrophage yang akan berubah menjadi jaringan mati. Fibroblast dan kapiler akan terlihat lebih jelas.
3. Antara 3 sampai 14 hari, fibroblast terbentuk dari jaringan fibrous, perdarahan dan pembentukan jaringan keras berkurang sampai 80 % dari ukuran sebenarnya. Setelah 14 hari luka mulai menampakkan kesembuhan dan cukup untuk tekanan yang normal, tetapi tidak mampu dengan beban yang full sampai 3 bulan.
4. Antara 2 minggu sampai 2 tahun, jaringan lunak selanjutnya bisa memendek, dimulai dari jaringan yang luka berwarna keabu-abuan yang berangsur-angsur menjadi warna pucat. Jaringan lunak pada sisi fleksor dari sendi bisa terjadi pemendekan yang berat tetapi untuk aspek ekstensor dari sendi dapat terjadi penguluran dan terlihat jaringan keras yang jelek.
B. Pengetahuan Tentang Nyeri
1. Konsep Nyeri
Menurut priguna sidharta, nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subjektif, yang di sertai perasaan yang tidak enak, pedis dan dingin, rasa tertekan dan ngilu, linu, pegal, dsb. Sebagai akibat adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam dan dari luar neuromuscular system, yang mengakibatkan terangsangnya nociceptor pada saraf perifer pada nilai ambang rangsang yang di teruskan ke korteks cerebri kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas rangsangan yang berbeda.
Pada prinsipnya nyeri adalah tidak seimbangnya aktivitas antara supresor (nocicencor lebih dominant) dibandingkan dengan depressor pada fase tertentu akibat gangguan suatu jaringan tertentu (Melzack dan Wall 1993).
1) Klasifikasi Nyeri.
Menurut Sarya Negara (1976), nyeri dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian antara lain :
a. Nyeri Perifer ( Peripheral Pain)
1) Nyeri superficial, berupa rangsangan secara kimiawi, fisik, mekanik pada kulit murkosa, biasanya terasa nyeri tajam di daerah rangsang.
2) Nyeri dalam bila di daerah viscera sendi pleura peritoneum terangsang maka akan timbul rasa nyeri dalam. Umumnya nyeri dalam banyak berhubungan dengan refered pain, keringat banyak, kejang otot di daerah kulit yang berjauhan dari asal nyerinya.
3) Nyeri rujukan (refered Pain), dimana adanya rasa nyeri di daerah yang jauh dari tempat yang di rangsang biasanya terlihat pada nyeri dalam menebarkan nyeri pada superficial, kadang-kadang di samping terjadi rasa nyeri terjadi pada kejang pada otot-otot atau kelainan susunan saraf autonom disertai keringat banyak. Mekanisme nyeri rujuakan disebabkan adanya perangsangan sentripetal terus menerus, internuncial nervous di sum-sum tulang belakang (spinal cord) sehingga menimbulkan pusat yang terangsang, neuron asal segmental sekitarnya terangsang. Akhirnya terjadi nyeri sesegmen dengan area yang mengalami gangguan fungsi, sehingga otot yang sesegmen mengalami spasme/kejang, dan pembuluh darah menyempit.
b. Nyeri Sentral (Sentral Pain)
Seperti syringomedia, tumor otak dan pendarahan yang merupakan rangsangan kepada medulla spinalis, brainstem, thalamus dan korteks serebri, di mana ada yang menimbulkan refered pain di perifer dan ada yang tidak.
c. Nyeri Psikologi (Psychologic Pain)
Penyebab nyeri tidak dapat diketemukan kelainan organic, tetapi si penderita mengeluh nyeri hebat yang berlangsung, biasanya di anggap sebagai “nyeri psikologi “, umumnya berupa sakit kepala, sakit perut dll.
2) Alat / Instrument yang digunakan dalam mengukur nyeri
a. Visual Analogue Scale (VAS)
VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis yang panjangnya 10 – 15 cm dengan rentangan skala 1 – 10 atau 10 – 100, dengan rentangan makna :
1 – 2 = tidak nyeri
3 – 4 = kurang nyeri
5 – 6 = nyeri
7 – 8 = lebih nyeri
9 – 10 = sangat nyeri
Cara penilaiannya adalah dengan pensil penderita menandai sendiri pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut dalam milimeter.
Hasil pengukuran VAS dan NRS lebih teliti dibandingkan intrumen lain karena memiliki nilai skala yang lebih besar, tetapi pelaksanaan VAS lebih praktis dibandingkan NRS, sebab pada VAS penderita hanya diminta memberikan tanda pada sejauh milimeter sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya, tanpa terbebani oleh pemaknaan dari setiap skala seperti pada NRS. Meskipun demikian, VAS memiliki kelemahan untuk memberi tanda pada skala bagi orang tua dan atau mereka yang mengalami gangguan penglihatan, karena itu peneliti harus menuntun mereka dengan sebaik-baiknya. (Jensen et.al, 1986 dalam 9).
b. Model instrumen penilaian intensitas nyeri lainnya, seperti :
- Pain Discomfort Scale (PDS)
- Mc. Gill Pain Questionaire (MPQ)
Namun model-model instrumen tersebut implementasinya dan interpretasinya lebih rumit dan lebih sulit dibandingkan dengan instrumen penelitian intensitas nyeri lainnya.
C. Konsep Interferential Current Theraphy
Interferential current theraphy ( interverensi ) adalah suatu fenomena yang terjadi jika dua atau lebih oscilasi yang secara bersamaan bertemu dalam satu medium sehingga pengertian arus interferential current theraphy adalah penggabungan dua arus bolak-balik yang berfrekwensi 3000-5000 Hz dengan frekwensi efektif yaitu 4000 Hz (menurut Nemec).
Pada tahun 1950, Hans Nemec seorang dokter dari Austria mengadakan eksperimen dengan cara mengaplikasikan dua arus bolak-balik frekwensi menengah dengan menggunakan 4 (empat) electrode, dimana dalam waktu yang bersamaan diaplikasikan frekwensi tersebut, maka terjadi interaksi arus dalam bentuk super posisi, sehingga timbul interferensi dan terbentuklah arus yang baru
Terapi dengan meggunakan arus frekwensi menengah yang dapat menghasilkan interferensi tersebut . akhirnya berkembang dan dikenal dengan istilah “Terapi Arus Interferensi”. Dasar yang penting dari terapi arus interferensi ini adalah “stimulus yang di hasilkan oleh arus interferensi dapat mencapai jaingan yang lebih dalam”.
Pengobatan dengan arus frekwensi menengah menggunakan Alternating Current (Arus boalk-balik) atau Rectified Alternating Current yang berfrekwensi antara 1000 Hz hingga 100.000 Hz. Meskipun Gildemeister bahwa frekwensi terendah adalah 2000 Hz-3000 Hz.
Dalam elektroterapi, arus interferensi dibentuk dengan menggabungkan arus bolak-balik frekwensi menengah, dimana arus yang satu mempunyai frekwensi hingga 4250 Hz. Penentuan lingkup frekwensi tersebut didasari atas efek fisiologis yang ditimbulkan oleh rangsangan arus frekwensi rendah dengan rangsangan arus frekwensi menengah.
Transversal Friction
A. Pengertian Transversal Friction
“Istilah “Friction” berasal dari kata latin “Fricto” yang berarti gosokan. Secara khas friction mengikuti teknik petrissage yang merupakan stroke urutan massage stroke ala Swedia. Friction merupakan stroke kompresi yang cepat, seringkali menghasilkan panas, dapat diaplikasikan secara superficial pada kulit atau pada lapisan jaringan yang lebih dalam (otot), bergantung pada keinginan terapis.
Secara khas, friction dapat dilakukan dengan menggunakan sedikit pelumas (media) atau tanpa media. Pada friction superficial atau general, panas dihasilkan dari gesekan tangan yang kontak dengan permukaan kulit. Pada friction yang lebih dalam, tangan terapis tidak bergeser (slide) di atas kulit melainkan penerapan tekanan yang kuat pada jaringan otot di bawahnya. Panas di bangkitkan ketika terapis mengaplikasikan gesekan yang kuat melawan lapisan serabut otot.
Teknik deep friction seperti cross-fiber friction (Transverse friction)dan circular friction bertujuan untuk mengurangi fragmen atau tightnes otot merusak atau mencegah perlengkatan jaringan parut (scar tissue), serta menyusun kembali serabut otot dan ligament ke dalam pola yang lebih biofungsional. Hal ini dapat disempurnakan dengan memberikan stressing pada formasi jaringan parut melalui deep transverse friction dan stretching pada lokasi injury. Deep friction dapat meningkatkan sirkulasi pada area-area secara normal memiliki pasokan darah yang sedikit atau bahkan tidak ada pasokan darah, seperti ligmen dan tendon. Friction dapat diaplikasikan dengan satu atau dua tangan, atau secara spesifik dengan menggunakan ibu jari, jari telunjuk, elbow, atau lengan bawah.
D. Bentuk Transversal Friction
Ada enam jenis Friction yaitu straight atau longitudinal Friction, Rolling Friction, Chucking (linear) Friction, Wringing Friction, Cross-fiber Friction, dan circular Friction. Variasi-variasi Friction tersebut dapat diaplikasikan dengan gerakan melingkar atau gerakan lurus dengan arah yang berlawanan. Friction dapat diapliaksikan dengan satu tangan atau dua tangan secara spesifik dapat menggunakan ibu jari, jari telunjuk, elbow, atau lengan bawah. Pada umumnya Friction memerlukan penggunaan pelumas atau minyak . Kecepatan gerakan Friction sangat dipengaruhi oleh kuantitas pelumas/minyak. Gerak Friction yang lebih cepat akan membutuhkan lebih banyak pelumas/minyak, dan variasi-variasi deep friction hanya memerlukan sedikit atau tanpa pelumas atau minyak.
B. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori, maka dikemukakan hipotesis penelitian bahwa :
H0 : Tidak terdapat perbedaan penurunan intensitas nyeri antara kelompok yang diterapi dengan Transversal Friction, interferential current theraphy, atau transversal friction + interferential current theraphy.
H1 : Terdapat perbedaan penurunan intensitas nyeri antara kelompok yang diterapi dengan Transversal Friction, interferential current theraphy, atau transversal friction + interferential current theraphy .
A. Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong Quasi Experiment dengan desain yang digunakan
adalah Randomized Group Design. Kelompok sampel ditentukan dengan melalui
prosedur acak , yaitu semua populasi menjadi sampel, tanpa menggunakan uji
laboratorium dan tanpa kelompokkontrol. Sebelum pemberian terapi dilakukan
pretest, dan dilakukan post test setelah pemberian terapi atau treatment.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, variabel yang diselidiki ada dua, yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas (terikat). Variabel bebasnya adalah terapi dengan teknik Transversal Friction dan Modalitas interferential current theraphy. Variabel tidak bebasnya adalah nyeri yang diakibatkan oleh traumatic injury.
2. Definisi Operasional Variabel
a. Transversal Friction adalah salah satu modalitas Fisioterapi dalam melakukan
pengobatan dengan menggunakan tehnik cross-fiber friction dimana satu atau
lebih jari tangan di letakkan di atas kulit pada lesi yang tepat dengan tekanan
yang kuat dan konsisten dalam satu arah dengan arah gerakan menyilang dan
tegak lurus terhadap arah serabut otot. Tehnik ini dilakukan dengan repetisi 30
– 45 kali pada area yang lesi.
a. Interferential current theraphy adalah salah satu modalitas Fisioterapi yang
menggunakan arus listrik dengan frekuensi 4000 Hz dan jenis arus yang
continu, dengan AMF dasar 50 Hz dan AMF modifikasi 100 Hz . Arus ini
dihantarkan dengan menggunakan teknik dua ped selama 10 menit.
1. Transversal Friction dan Interferential current theraphy adalah gabungan dua modalitas fisioterapi yang diberikan terhadap penderita traumatic injury otot intercostalis, dimana transversal friction diberikan lebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemberian modalitas interferential current theraphy.
2. Nyeri adalah perasaan yang tidak enak yang dirasakan oleh penderita akibat adanya cidera pada jaringan lunak seperti pada otot. Adapun kriteria perubahan tingkat nyeri yang di akibatkan oleh pemberian modalitas Fisioterapi yaitu :
d.1. Tingkat nyeri bertambah yaitu apabila nilai VAS meningkat satu level atau
lebih setelah pemberian modalitas.
d.2. Tingkat nyeri menurun yaitu apabila nilai VAS menurun satu level atau lebih
setelah pemberian modalitas.
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Fisioterapi Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar. Populasi penelitian ini adalah semua pasien Traumatic Injury yang berkunjung di Poli Fisioterapi PIP Makassar. Berdasarkan populasi tersebut kami mendapatkan sampel sebanyak 45 orang dengan rentang usia antara 17 – 25 tahun serta jenis kelamin laki – laki.
Setelah mendapatkan sampel penelitian, kami melakukan pre test yaitu mengukur tingkat nyeri dengan menggunakan instrument Visual Analog Scale ( VAS ). Setelah dilakukan pre test , setiap sampel diberikan perlakuan sesuai dengan kelompok acak yang sudah ditentukan. Sehingga kelompok sampel dibagi dalam tiga perlakuan yaitu ada yang mendapatkan pemberian modalitas interferential curreant therapy, pemberian tenik transversal Friction, serta ada yang mendapatkan perlakuan gabungan kedua modalitas di atas dengan dosis yang sama untuk setiap penderita. Setelah perlakuan dan hari berikutnya dilakukan post test dengan mengukur kembali tingkat nyeri pasien melalui tes VAS untuk melihat adanya perubahan yang terjadi.
1. Analisa Data
Untuk menganalisa data dalam pengujian hipotesis penelitian, maka kami gunakan uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon merupakan salah satu uji dalam statistic non-parametrik yang digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh yang bermakna antara pre test dan post test dalam satu kelompok sampel. Adapun hasil uji Wilcoxon dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5. Analisis Pengaruh Tindakan Interferential Current Theraphy Pada Penderita
Kelompok Sampel | N | Mean | SD | Ranks | Z | P | ||
- Ranks | + Ranks | Ties | ||||||
Pre test | 15 | 6,913 | 0,856 | 15 | 0 | 0 | -3,415 | 0,001 |
Post test | 15 | 3,987 | 0,716 |
Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,415 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Interferential Current Therapy terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.
Tabel 6. Analisis Pengaruh Tindakan Transversal Friction Pada Penderita Traumatic Injury
Kelompok Sampel | N | Mean | SD | Ranks | Z | P | ||
- Ranks | + Ranks | Ties | ||||||
Pre test | 15 | 6,960 | 0,914 | 15 | 0 | 0 | -3,413 | 0,001 |
Post test | 15 | 3,227 | 0,872 |
Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,413 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.
Tabel 7. Analisis Pengaruh Tindakan Gabungan Interferential Current Theraphy dan
Kelompok Sampel | N | Mean | SD | Ranks | Z | P | ||
- Ranks | + Ranks | Ties | ||||||
Pre test | 15 | 6,553 | 0,619 | 15 | 0 | 0 | -3,411 | 0,001 |
Post test | 15 | 2,207 | 0,670 |
Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,411 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Interferential Current Therapy dan Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.
Tabel 8. Analisa Pengaruh Perbandigan terhadap selisih nilai VAS antara kelompok Interferential Current Therapy, Transversal Friction, dan kelompok gabungan
Kelompok Sampel | N | Mean/rerata | SD | X2 | p | |
Selisih VAS | Klp Interferential Current Therapy | 15 | 2,927 | 0,296 | 29,255 | 0,000 |
Klp Transversal Friction | 15 | 3,733 | 0,486 | |||
Klp Gabungan | 15 | 4,347 | 0,545 |
Tabel diatas menunjukkan nilai X2 sebesar 29,255 dengan taraf signifikan 0,000 (nilai p <>0) ditolak yaitu ada perbedaan pengaruh yang bermakna antara pemberian Interferential Current Therapy, Transversal Friction dan pemberian terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatik injury. Dilihat dari nilai rerata antara 3 kelompok tersebut menunjukkan bahwa kelompok terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) memiliki nilai rerata selisih VAS yang tertinggi yaitu 4,347. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) paling efektif dari pada terapi Interferential Current Therapy dan terapi Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.
B. PEMBAHASAN
Sampel penelitian adalah mahasiswa/taruna yang berusia antara 17 – 25 tahun. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa lebih banyak yang mengalami traumatik injury pada otot dibandingkan jaringan lainnya, kemudian lebih banyak yang terkena adalah usia 21 – 22 tahun. Hal ini disebabkan karena otot merupakan jaringan aktif yang terlibat aktif dalam semua gerakan yang terjadi, sehingga kemungkinan besar dapat terjadi cidera pada otot. Para mahasiswa/taruna secara rutinitas melakukan latihan fisik dan olahraga setiap hari. Kondisi ini membuat otot bekerja kuat dengan kontraksi memanjang atau memendek dalam berbagai gerakan. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya cidera atau traumatik injury pada otot. Sedangkan kelompok usia 21 – 22 tahun berdasarkan pengumpulan data adalah terbanyak yang terkena traumatik injury, hal ini karena semakin meningkatnya intensitas latihan fisik dan olahraga yang dijalani selama pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar, sehingga menghasilkan peluang besar terjadinya cidera atau traumatik injury.
Pada traumatik injury, kerusakan jaringan lunak menyebabkan nociceptor terangsang dan diteruskan ke korteks cerebri yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk nyeri. Pemberian interferential therapy dapat merangsang serabut saraf bermyelin tebal atau berukuran besar (II dan IIIa) sehingga aktivitas serabut saraf tersebut dapat menghambat impuls nyeri yang dibawa oleh nociceptor. Adanya blokade terhadap impuls nyeri, secara bertahap akan menyebabkan penurunan nyeri. Sesuai dengan “Gate Control Theory” yang menjelaskan bahwa impuls serabut-serabut saraf berdiameter kecil dengan nilai ambang rangsang tinggi bersifat membuka “pintu gerbang” impuls nyeri di lamina gelatinosa cornu dorsalis medula spinalis sehingga berperan sebagai fasilitator pengiriman impuls ke tingkat yang lebih tinggi pada SSP. Kemudian, fungsi inhibitor yang bekerja menutup “pintu gerbang” dilakukan oleh impuls-impuls yang dibawa oleh serabut-serabut saraf berdiameter besar (mekanoreseptor) dan mempunyai nilai ambang rangsang rendah (Nugroho DS, 2001). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya penurunan nyeri yang bermakna (nilai p = 0,001 <>
Pemberian transversal friction dapat menghasilkan efek penurunan nyeri, efek mekanikal dengan menghancurkan perlengketan jaringan, dan efek hyperemia. Aplikasi transversal friction dengan gosokan yang gentle dapat menghasilkan efek analgesik pada cidera jaringan lunak. Menurut Cyriax, penurunan nyeri selama friction dan setelah friction disebabkan oleh modulasi impuls nosiseptive pada level medulla spinalis yang dikenal dengan “gate control theory”. Proyeksi sentripetal kedalam cornu dorsalis medulla spinalis dari sistem reseptor nosiseptive akan di inhibisi oleh aktivitas mekanoreseptor yang terjadi secara bersamaan pada jaringan yang sama. Stimulasi yang selektif dari mekanoreseptor dihasilkan dari gerakan friction yang gentle dan ritmikal diatas area yang terganggu sehingga menutup pintu gerbang untuk nyeri. Cyriax juga menyatakan bahwa deep transverse friction pada area yang terganggu dapat menurunkan gangguan perifer jaringan saraf yang disertai efek analgesik lokal. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya penurunan nyeri yang bermakna (nilai p = 0,001 <>
Baik aplikasi interferential therapy maupun transversal friction sama-sama dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna. Terapi gabungan yang mengaplikasikan interferential therapy dan transversal friction dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar dari pada terapi interferential saja dan terapi friction saja. Dilihat dari hasil penelitian menunjukkan adanya rata-rata penurunan nyeri yang lebih besar pada terapi gabungan yaitu 4,347 dari pada rata-rata penurunan nyeri yang dihasilkan oleh terapi friction saja yaitu 3,733 dan terapi interferential saja yaitu 2,927. Hasil uji Kruskal Wallis juga menunjukkan adanya perbedaan pengaruh yang bermakna antara hasil terapi gabungan dengan terapi interferential saja dan terapi friction saja. Melihat efek penurunan nyeri yang sama-sama dihasilkan oleh terapi interferential dan friction maka jika digabungkan kedua terapi tersebut akan menghasilkan efek penurunan yang lebih besar.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Aplikasi interferential current therapy dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,927.Aplikasi transversal friction dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 3,733. Aplikasi terapi gabungan dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 4,347.
Aplikasi terapi gabungan lebih berpengaruh dalam menurunkan nyeri dari pada aplikasi interferential current therapy saja dan aplikasi transversal friction saja, karena menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar dan perbedaan hasil terapi yang bermakna.
B. SARAN-SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, dalam rangka memberikan pelayanan Fisioterapi yang lebih optimal terhadap penderita traumatic injury maka diajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam menggunakan modalitas terpilih dalam menangani kondisi Fisioterapi terutama pada kondisi traumatic injury.
2. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik dalam memberikan pelayanan Fisioterapi pada kondisi traumatic injury sebaiknya meggunakan modalitas Interferential Current Therapy dan Tehnik Transversal Friction sebagai modalitas terpilih.
3. Disarankan agar Fisioterapi yang ada di rumah sakit, klinik, dan akademik agar berusaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan fisioterapi dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu memperlihatkan ciri Fisioterapi yang professional.
4. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik lebih mengupayakan tindakan promotif guna menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat dan profesi kesehatan yang lain tentang bentuk pelayanan Fisioterapi khususnya dalam menangani kondisi traumatic injury.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Arisandi, Studi Tentang Friction pada Penderita Nyeri Akibat
Myofascial Trigger Point di Klinik Medisakti. Akademi
Fisioterapi Makassar, 2001.
Dr. A.N. de Wolf, J.M.A.Mens, Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh , Bohn
Stafleu Van Loghum Houten / Zaventeum 1994.
Ann Thomson, Alison Skinner and John Pierey, Tidys Phsioteraphy, Butter
Worth Heinemann London 1991.
Ann H. Downer , Physical Theraphy Procedures, Charles Thomas United State
of America 1988.
Drs. Djohan Aras A.FT, M.Pd, Diktat Sumber Fisis I dan II, Akademi
Fisioterapi Dep Kes Makassar 1998.
Drs. Heri Priatna, S. St. Ft, SKM, MM, Fragmentasi Pelayanan Sport Of
Physical Therapi, Jakarta 2005.
Good Man and Boisson Nault, Pathology Implication For The Physical
Therapist, W.B Saunders Company. United Satae of America,
1998.
J.Duncan Mac Dougall, Physiological Testing of The Athlete, MC Master
University, Hamilton Ontario1982
Leon Chaitow, Modern Neuromusclar Techniques, Churchill Livingstone 2003.
Marilyn Moffat, PT, PhD, FAPTA and Steve Vickery, Body Maintenance and
Repair, American Physical Therapy Association, Amerika
1999.
Nugroho, DS, Neurofisiologi Nyeri dari Aspek Kedokteran , Akademi
Fisioterapi Surakarta 2004.
Nicola J Petty Ann P Moore, Neuromusculskeletal Examination and Assesment,
Churchill Livingstone 2001.
Olaf Eusent and Jern Humberg, Muscle Stretching in Manual Therapy, Alfa
Rehab Forlag Sweden 1988.
Paul Goodyer, Technique In Musculoskeletal Rehabilitation, United State of
America 2001.
S.S. Adler D Becker and M. Buck, PNF in Practice, Springer Verlag Berlin
Heidelberg New York 2000.
Dr. Satya negoro M.D, Teori dan Terapi Nyeri, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta 1978.
Thomas W Myers, Anatomi Trains ( Myofscial Meridians For Manual and
Movement Therapist ), Churchill Living Stone, New York
2001.
Wemer Leupian, Physical Theraphy For Sports, W.B Saunders Company,
Philadelphia 1982.
William E. Prentice, Therapeutic Modalities For Sport Medicine and Athletic
Training, MC Graw Hill Higher Education New York
America 2003.
John V. Basmajian and Charles E. Slonecker, Metode Anatomi Berorientasi
pada Klinik, Bina Rupa Aksara, Jakarta 1995.
Waldman, Physical Diagnosis of Pain An Atlas of Sign and Symptoms, Elsevier
Saunders, Missiory 2004.