Selasa, 15 Maret 2011

Mengenal Spina Bifida

Dipersembahkan oleh alat fisioterapi

sumber : Tabloid Ibu Anak

Meski nama penyakit ini terdengar "indah", ternyata dampaknya luar biasa. Tapi kendati tak bisa sembuh total, fungsi saraf tetap harus dimaksimalkan.

Tak semua bayi yang dilahirkan memiliki fisik sempurna. Ada kalanya bayi kita dilahirkan dengan kelainan tulang belakang alias spina bifida. Nah, bila hal ini menimpa anak kita, apa yang harus dilakukan?

Spina bifida, menurut dr. David Tandian, SpBS, dari bagian bedah saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, adalah kelainan bawaan yang terbentuk sejak dalam kandungan. Ada sebagian komponen tulang belakang yang tidak terbentuk. "Jadi, tidak ada tulang lamina yang menutupi sumsum atau susunan sistem saraf pusat di tulang belakang."

Bentuk tulang belakang itu sendiri, terang dr. Ifran Saleh, FICS, DSBO, dari bagian bedah tulang RSUPN Cipto Mangun- kusumo, Jakarta, seperti korpus/bagian utama dari suatu struktur, yang terdiri dari 33 ruas. "Nah, pada kasus spina bifida, biasanya yang paling sering terkena adalah ruas tulang belakang bagian bawah atau lumbal 4-5. Jarang terjadi pada ruas bagian atas."

SUMSUM TULANG MENONJOL
Terjadinya kelainan ini, tambah dr. H. Irawan Mangunatmadja, SpA, dari bagian saraf anak RSUPN Ciptomangunkusumo, Jakarta, dimulai sejak dalam masa pembentukan bayi dalam kandungan. Terutama pada usia 3-4 minggu kehamilan. Pada masa ini janin sedang dalam pembentukan lempeng-lempeng saraf. "Nah, jika saat itu ada gangguan, tulang belakang yang seharusnya menutup jadi tidak menutup." Kemungkinan penyebab gangguan ini adalah ibu hamil kekurangan konsumsi asam folat.

Pada proses perkembangan tulang belakang dengan sarafnya itu, awalnya tulang belakang dan sumsum tumbuh di tingkat yang sama. Tapi dalam perkembangannya kemudian, "Tulang belakang tumbuh lebih cepat dari sumsum tulang. Nah, kalau ada gangguan pembentukan tulang belakang, perkembangannya jadi tertahan. Karena tulang belakangnya tidak terbentuk, maka sumsum tulang jadi tersangkut pada bagian tulang yang berlubang (defect) tadi, sehingga sumsum tulang keluar dan menonjol. Isinya bisa hanya berupa selaput saraf dengan air saja atau saraf-sarafnya pun ikut keluar dan menonjol," jelas David.

Pada kesempatan terpisah, Ifran menjelaskan, sebetulnya, kelainan ini bisa dideteksi sejak dalam kandungan lewat pemeriksaan USG atau dengan pemeriksaan cairan amnionnya. Bahkan kalau di luar negeri, tambah David, bila diketahui si bayi terkena kelainan ini bisa langsung dikoreksi sejak dalam kandungan.

TERBUKA DAN TERTUTUP
"Jenis spina bifida ini bila berdasarkan kulit yang menutupinya, dibagi menjadi spina bifida yang terbuka, kalau berhubungan dengan dunia luar, dan spina bifida yang tertutup bila kulit yang menutupinya utuh." Sementara berdasarkan bentuknya, spina bifida ada yang tersembunyi dan terlihat atau ada penonjolan. Untuk spina bifida yang terlihat, kata David, ia bisa tergolong tertutup atau bisa juga terbuka.

Spina bifida yang menonjol/kelihatan, terang Irawan, biasanya jaringan lemaknya juga keluar. "Bila spina bifidanya tertutup jaringan lemak dan kulit, maka warna kulit di daerah benjolan tersebut tidak berbeda dengan kulit aslinya." Sementara pada spina bifida yang terbuka, benjolannya akan berwarna kemerah-merahan dan tampak jaringan di dalamnya yang berisi cairan.

Pada spina bifida yang tak terlihat tonjolan, lanjut Irawan, berbentuk seperti dimpel atau lekukan ke dalam. "Biasanya ditandai dengan adanya hiperpigmentasi atau pewarnaan kulit yang lebih hitam dari kulit di sekitarnya. Juga terdapat banyak bulu-bulu. "Nah, jika dijumpai tanda-tanda seperti ini, mesti dicurigai adanya kelainan tulang belakang atau spina bifida tersembunyi."

Irawan juga menuturkan, spina bifida yang terbuka lebih berat dari yang tertutup karena sebagian jaringan selaput sarafnya sudah keluar atau sebagian jaringannya sudah rusak. "Terkadang cairannya pun bocor dan merembes keluar. Sementara yang tertutup, tidak." Maka itu, lanjutnya, spina bifida yang terbuka ini harus ditutup agar susunan saraf pusat tidak berhubungan langsung dengan dunia luar, yang bisa menimbulkan infeksi.

"Bila terjadi infeksi, kuman bisa masuk ke otak hingga si anak dapat mengalami kejang-kejang atau meningitis dan gangguan lainnya." Padahal, bila kuman sudah masuk ke otak, akan lebih susah lagi, apalagi pada bayi, di mana fungsi organ tubuh lainnya belum baik. Ia perlu diberi obat-obatan yang dapat masuk ke dalam susunan sarafnya. "Perawatannya harus secara khusus dan menutupnya harus serba steril."

Pada spina bifida yang tidak kelihatan, menurut Ifran, biasanya terdeteksi secara kebetulan, yaitu bila anak difoto rontgen tulang. "Saat itulah baru ketahuan, ternyata ada ruas tulang belakangnya yang tidak ada." Namun demikian, pada spina bifida yang tertutup ini biasanya tak perlu operasi. Hanya saja perlu berhati-hati agar bagian belakangnya tidak cedera, seperti terpukul atau terbanting sehingga sumsum tulangnya cedera. "Akibatnya, sarafnya jadi cedera. Tidurnya pun harus tengkurap."

ANEKA KOMPLIKASI
Dampak komplikasi dari spina bifida, terang Irawan, sangat tergantung pada luas kerusakan dan juga letaknya. "Yang paling sering terjadi, spina bifida ini terletak pada daerah lumbal yang jadi beban tubuh belakang. Nah, kalau terkena persarafan di pusat pembuangan, maka saraf-saraf yang berfungsi untuk BAB dan BAK akan terganggu. Akibatnya, anak tidak bisa menahan pipis atau BAB." Selain itu, gerakan kedua tungkai bawah pun sering terganggu.

Walaupun demikian, menurut Ifran, tidak semua anak yang mempunyai kelainan spina bifida akan mengalami komplikasi seperti disebutkan di atas. "Tergantung dari kemampuan mengobati infeksinya atau cara pengobatannya, serta respon dari anak tersebut. Apakah ada kelainan bawaan di tempat lain atau tidak?"

Kalau ada komplikasi di organ lain, seperti ginjal atau liver, biasanya sering timbul masalah yang memberatkan. "Apalagi biasanya anak dengan cacat bawaan spina bifida ini tidak hanya mempunyai satu kelainan, tapi ada beberapa kelainan bawaan pula pada organ lainnya."

Kelainan ini juga seringkali bisa disertai hidrosefalus. Sebab, terang Irawan, dengan adanya bagian tulang belakang yang terbuka dan sebagian jaringan masuk ke dalamnya, maka cairan otak tak bisa diserap, hingga menyebabkan kepala anak membesar. "Nah, kalau hidrosefalus ini tidak ditangani dengan baik, tentunya akan menganggu otak dan bisa berakibat anak jadi terbelakang. Kalau hidrosefalus ditangani cepat, bukan tak mungkin anak akan berkembang normal."

Menurut Ifran, sebetulnya dari segi intelegensi, anak dengan kelainan ini tak berbeda dengan anak lainnya. "Jika anaknya normal-normal saja, maka intelegensianya tak bermasalah. Mungkin hanya cacat secara fisik. Kecuali kalau ada gangguan neurologis, maka anak akan hidup dengan gangguan atau handicap tersebut. Bila gangguannya pada saraf, bisa terjadi kelumpuhan yang berat."

TINDAKAN OPERASI
Biasanya kalau ada kelainan bawaan yang berat dan dapat mengancam nyawa si bayi, maka begitu lahir sudah disiapkan tim dokter untuk menanganinya. Misalnya dari bedah saraf, bedah anak, ortopedi, dan dokter saraf anak.

Terlebih bila spina bifidanya terbuka dan terjadi kebocoran, maka harus segera ditutup lewat operasi. Karena bagaimanapun, tidak bisa dibiarkan adanya hubungan dunia luar dengan susunan saraf pusat.

"Tindakan operasi yang dilakukan pun memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk penutupan kalau ada defect atau kalau ada hubungan langsung susunan saraf pusat dengan dunia luar," jelas David. Selain itu, tujuan utama lainnya adalah operasi untuk membebaskan jaringan saraf bila mungkin ada yang menyangkut di tulang belakang yang defect (berlubang).

Biasanya, menurut Ifran, bila kelainan spina bifidanya terbuka luas, bayi harus dirawat di rumah sakit dan tidak dibolehkan pulang. "Sebab, ia termasuk bayi berisiko tinggi." Sementara pada spina bifida yang dilapisi oleh kulit yang normal, bisa didiamkan saja, tanpa perlu tindakan operasi. "Bisa dibawa pulang dan kontrol 3-5 bulan, asalkan dihindari dari cedera seperti jatuh atau terbentur."

Selain tujuan operasi penutupan defect dan membebaskan jaringan saraf yang tersangkut, menurut David, tujuan operasi lainnya yaitu aspek kosmetik. "Biasanya dilakukan kalau spina bifidanya cuma menonjol saja dan semuanya cukup bagus. Operasi ini dilakukan di usia prasekolah, sekitar usia 4 tahunan, agar anak nantinya tidak merasa malu."

Bila spina bifida disertai dengan hidrosefalus sebaiknya dilakukan terlebih dulu pemasangan 'selang' atau VP shunt (pintas dari rongga cairan otak ke perut). "Kalau tidak, tekanan cairan dari otak akan tinggi terus. Akibatnya, seringkali bocor dan merembes." Dengan pemasangan selang, cairan otak dialirkan ke rongga perut sehingga tekanan cairan pun tidak terlalu tinggi. "Kalau tidak dipakaikan selang, lama-lama kepala anak akan terus membesar karena cairan otak akan bertambah atau berproduksi terus. Pertumbuhan jaringan otak pun akan tertekan dan kalau dibiarkan terus, bisa menjadi tipis."

STIMULASI FISIOTERAPI
Kalaupun ada penundaan operasi, misal karena kondisi si anak tak memungkinkan, untuk sementara waktu diberikan obat-obatan. Terutama untuk mengurangi produksi cairan otaknya. Selain berusaha secepat mungkin melakukan tindakan sampai kondisinya memungkinkan. "Kalau tidak, akan mengalami masalah di atas meja operasi atau sesudahnya." Pemberian obat-obatan pun menurut David diberikan setelah atau segera sebelum operasi.

Sebelum melakukan tindakan pun, tutur David, biasanya kondisi sarafnya dinilai lebih dahulu, apakah masih berfungsi atau tidak. Misalnya, apakah anak mengalami kelumpuhan atau tidak. Lalu, apakah ia bisa menahan pipis atau tidak. Jika ternyata saraf sudah tak berfungsi, "Ya, dokter tak bisa berbuat apa-apa karena tak mungkin membuat saraf baru," jelas David. Jadi, tindakan operasi dilakukan menurut kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu bedah anak. "Selain itu, dicari waktu yang terbaik untuk melakukan operasi. Kalau pada usia anak yang lebih besar, sih, lebih mudah untuk diambil tindakan karena fungsi organ tubuhnya sudah matang. Sementara pada bayi, sangat riskan."

Selain pengobatan dengan tindakan operasi, menurut Irawan, juga dilakukan stimulasi fisioterapi dan rehabilitasi medik untuk melatih motoriknya. Misalnya dengan menggerakan otot-ototnya supaya tidak lemah. Jadi, tambah David, fungsi-fungsi saraf yang ada harus dilatih semaksimal mungkin. Termasuk melatih BAB dan BAK. Ini amat penting mengingat tidak mungkin untuk membuat saraf baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar