Senin, 13 September 2010

Bell’s Palsy


Dr Sukardi, Dr P Nara

Subdivisi Nerologi, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Rumah Sakit Umum Ujung Pandang, Ujung Pandang

SUMMARY

Bell’s Palsy is an acute peripheral facial nerve paralysis of unknown origin with a local lesion within the facial nerve canal. It is more frequently found in adults than in children.

Diagnosis is made based on clinical manifestations with the exclusion of all othercauses of peripheral facial nerve disorders.

PENDAHULUAN

Bell’s Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yangtidak diketahui sebabnya disebut Bell‘s palsy.Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.

Diagnosis BP dapat ditegakkan dengan adanya kelumpuhan n.fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan n. fasialis perifer.baca selengkapnya…

INSIDENS

Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun (dikutip dari 5). Di Belanda (1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa & 1 penderita per 20,000 anak pertahun.

BP pada orang dewasa lebih banyak dijumpai pada pria, sedangkan pada anak tidak terdauat perbedaan yang menyolok antara kedua jenis kelamin.

ETIOLOGI

Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.

I) Kongenital

1.anomali kongenital (sindroma Moebius)

2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

II) Didapat

1.trauma

2.penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

3.proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)

4.proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

5.infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)

6.sindroma paralisis n. fasialis familial

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik

ANATOMI

N. fasialis bersifat somato-motorik, visero-motorik dan somato-sensorik. Intl it fasialis terletak pada batang otak, menerima impuls dari girus presentralis korteks motorik homolateral untuk otot-otot wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah.

Serabut n. fasialis meninggalkan batang otak bersama n.oktavus dan n. intermedius masuk ke dalam os petrosum melalui meatus akustikus internus, tiba di kavum timpani untuk bergabung dengan ggl. genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini, n. fasialis memberi cabangnya ke ggl. otikum dan ggl. pterigopalatinum yang menghantarkan impuls sekreto-motorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis.

N. fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum memberikan cabangnya untuk mempersarafi otot-otot wajah mulai dari m. frontalis sampai dengan m. platisma

PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Hingga kini belum ada pesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada BP terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain : infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis .

Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus pada BP bersifat akut oleh karena foramen stilomastoideus merupakan Neuron Lesion bangunan tulang keras.

Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sbb :

1)Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem

2)Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.

3)Terdapat degenerasi akson

4)Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak

Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau strangulasi terhadap n. fasialis

GEJALA KLINIK

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.

Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :

1.Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang sehat.

2.Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus).

3.Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell‘s sign

4.Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi

DIAGNOSIS

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sbb:

1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.

2)Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

3)Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.

4)Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.

5)Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

DIAGNOSIS BANDING

1)Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan BP

2)Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal; bila dahi dikerutkan tidak terlihat asimetri, karena otot-otot dahi mempunyai inervasi bilateral

PENATALAKSANAAN

1)Istirahat terutama pada keadaan akut

2)Medikamentosa

Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.

3)Fisioterapi

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.

Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.

4)Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.

Tindakan operatif dilakukan apabila :

1.tidak terdapat penyembuhan spontan

2.tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).

PROGNOSIS

Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.

Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik-fasialis dan sindrom air mata buaya.

RINGKASAN

Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.

Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi

KEPUSTAKAAN

1Menkes JH. Textbook of Child Neurology Philadelphia Lea and Febiger

2nd ed. 1980. pp 304 – 5.

2.Tumbelaka AR. Bell’s Palsy pada anak. Buletin IDAI 1982. 2 : 11 – 4.

3.Thamrinsyam. Electro Diagnosa dini untuk penilaian prognosis Bell’s

Palsy. Makalah Kongres III PERHATI Surabaya 1981

4.Mahar Mardjono. NeurologiKiinik Dasar Cetakan ke-4 Jakarta; PT. Dian

Rakyat 1978. 160 – 163.

5.Ahmad A, Tjahjadi P. Penggunaan Prednison pada pengobatan Bell’s

Palsy Naskah Kongres III PNPNCH Medan 1984.

6.Devries PP. Facialis Verlamming,Ned T Geneesk 1987; 131 : 721 – 4.

7.Adam GL, Bois JR. Fundamentals of Otolaryngology.5th ed Philadelphia –

London – Toronto, WB Saunders Co, 1978. pp 273 – 9.

8.Adour KK. Bell’s Palsy: Dilemma of diabetes mellitus.Arch Otolaryngol

1974;99:114-7.

9.Thamrin H. Bell’s Palsy dilihat sebagai Sindrom Kompresi Saraf dan

Peranan Electro Diagnose.Makalah Kongres III PNPNCH Medan 1984.

10.Farmer TW. Pediatric Neurology 2nd ed 1975 Maryland: Harper and Row

Publ Inc. pp 420 – 1.

11.Teguh AS. Frekwensi dan Prognosis Bell’s Palsy Makalah Pertemuan ke-4

PNPNCH Semarang 1974.

12.Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Textbook of Pediatrics 12th ed.Phila-

delphia – London – Toronto WB Saunders Co Tokyo Igaku Shoin Ltd

p 1605, 1983

13.Editorial. Bell’s Palsy. Lancet 1982 I : 663

Tidak ada komentar:

Posting Komentar