Senin, 21 Maret 2011
Rabu, 16 Maret 2011
Kondisi yang ditangani Terapi Wicara
Dipersembahkan oleh Alat fisioterapi
kondisi - kondisi Gangguan bahasa bicara yang bisa ditangani oleh Terapis Wicara
Terapi Wicara
Pelayanan Terapi Wicara adalah pelayanan kesehatan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi dalam bidang prilaku komunikasi untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan prilaku komunikasi, yang berhubungan dengan kemampuan bahasa, wicara, suara dan irama/kelancaran yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis,fisiologis psikologis dan sosiologis.
Gangguan bahasa bicara bisa terjadi pada kondisi-kondisi :
Autisme
ADD/ADHD
Tuna Rungu
Cerebral Palsy
Mental Retardasi
Gangguan Tumbuh Kembang
Pasca Serangan Stroke
Pasca Pengangkatan Laring
Celah langit-langit
Gagap
kondisi - kondisi Gangguan bahasa bicara yang bisa ditangani oleh Terapis Wicara
Terapi Wicara
Pelayanan Terapi Wicara adalah pelayanan kesehatan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi dalam bidang prilaku komunikasi untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan prilaku komunikasi, yang berhubungan dengan kemampuan bahasa, wicara, suara dan irama/kelancaran yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis,fisiologis psikologis dan sosiologis.
Gangguan bahasa bicara bisa terjadi pada kondisi-kondisi :
Autisme
ADD/ADHD
Tuna Rungu
Cerebral Palsy
Mental Retardasi
Gangguan Tumbuh Kembang
Pasca Serangan Stroke
Pasca Pengangkatan Laring
Celah langit-langit
Gagap
Terapi wicara utk tuna rungu dan non tuna rungu
Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Terapi wicara utk tuna rungu dan non tuna rungu
Dipersembahkan oleh Alat fisioterapi
Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Terapi wicara utk tuna rungu dan non tuna rungu
Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu
Dipersembahkan oleh Alat fisioterapi
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Dipersembahkan oleh Alat fisioterapi
Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses 'input' bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan 'output'nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, 'output'nya bermasalah justru karena gangguan pada 'input'. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias 'input'nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba "Ellen" "Ibu" "Ellen" "Ibu" dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya -kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
Ditulis Oleh Richa Rochmah,Amd.TW
Selasa, 15 Maret 2011
Latihan selama kehamilan
Kata kunci di dalam kehamilan adalah adanya perubahan. Selama
masa 40 minggu ini, tubuh wanita mengalami banyak perubahan
termasuk juga adanya penguluran otot-otot, melunaknya
ligament, dan melonggarnya sendi. Anda dapat menyesuaikan diri
dengan lebih baik oleh karena adanya perubahan ini dengan
melakukan latihan secara rutin. Dengan sedikit berpikir sehat dan
memahami kebutuhan individu anda, anda dapat merencanakan
dan berpartisipasi di dalam program latihan yang aman dan efektif
selama kehamilan dan juga kehidupan anda. Latihan dapat
membuat kehamilan anda lebih menyenangkan.
Cukuplah memfokuskan diri dalam menjaga tingkat kebugaran
anda sebelumnya daripada pada tingkat kebugaran anda lebih
lanjut. Jika anda adalah orang yang tidak aktif dan ingin memulai
program latihan, berkonsultasilah dengan terapis anda. Dia dapat
membantu membuatkan disain program yang terbaik sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan anda. Anda harus menunggu
dalam memulai program ini sampai usia kehamilan anda pada
trimester kedua (minggu ke 13-28). Memulai program latihan
sebelum masa ini secara potensial dapat menyebabkan kerusakan
dalam kelahiran dan juga komplikasi yang lain.
Tipe-tipe program latihan yang aman untuk semua wanita hamil
antara lain kebugaran kardiovaskuler, penguatan otot, penguluran,
dan relaksasi. Latihan-latihan ini harus dilakukan secara rutin paling
tidak tiga kali setiap minggunya. Intensitas latihan dilakukan dari
yang ringan sampai yang sedang, denyut jantung anda tidak
boleh lebih dari 140 denyutan per menit.
Pemanasan
Latihan pemanasan harus dimulai dengan aktifitas fisik. Terdiri dari
berjalan pelan, atau menaiki sepeda static selama 5 sampai 8
menit dimulai dengan yang ringan, dipertahankan pada titik
ketegangan yang ringan. Jangan memaksanya pada titik nyeri dan
jangan memaksakan diri sejauh yang anda lakukan. Ingat,
jaringan konektif anda, seperti otot dan ligament sedang lemah.
Latihan kardiovaskuler
Tipe yang ideal pada latihan kardiovaskuler selam kehamilan
adalah dengan aktifitas tanpa menggunakan beban, seperti
bersepeda static, berenang, dan latihan di dalam air. Latihan di
dalam air lebih memberikan keseimbangan, meleindungi sendi,
dan mempertinggi penghilangan panas. Selama di dalam air, anda
mungkin mendapatkan bahwa ketegangan pungung anda
berkurang, sampai menjadi hilang, terutama pada kehamilan yang
telah lanjut.
Bagaimanapun, ketika melakukan latihan di dalam kolam yang
panas, batasilah waktu yang anda gunakan. Air yang hangat bisa
menyebabkan temperature internal menjadi meningkat, yang tidak
aman untuk bayi anda. Jika anda tidak nyaman dengan air hangat,
segeralah keluar dari kolam tersebut. Berjalan adalah jenis aktifitas
lain yang bagus untuk latihan para pemula yang ingin menjaga
tingkat kebugaran yang bagus.
Penguatan
Dalam penambahan untuk aktifitas aerobic, anda
membutuhkan penguatan untuk otot-otot anda.
Membawa beban ekstra selama kehamilan dapat
menyebabkan nyeri punggung. Untuk
mencegah nyeri ini, perkuatlah otot-otot perut
dan punggung dengan melakukan pelvic tilting
(lihat gambar)
Jika anda latihan mengangkat beban, yakinkan
bahwa beratnya sama atau kurang dari ketika
anda mengangkat beban waktu sebelum hamil.
Tujuan latihan mengangkat disini hanya untuk
menjaga tonus otot sebelumnya dan bukan
untuk membesarkan otot. Ingatlah untuk selaln
mengatur nafas selama
mengontraksikan otot.
Tahan nafas anda
kemudian sedikit
mengejanlah selama
mengeluarkan nafas
(maneuver valsava)
pada waktu
mengangkat beban ini
akan menurunkan aliran
darah ke jantung anda.
Selama trimester ketiga (28 minggu sebelum lahir), anda dapat
menggunakan barbel tapi dengan hati-hati, tubuh anda akan
mengalami beberapa perubahan fisiologi dan tidak seseimbang
sebelum kehamilan. Jika anda mempunyai riwayat kelelahan yang
kronis atau dahaga yang sangat ketika latihan, hentikanlah latihan
anda dan konsultasikan ke terapis anda. Termasuk latihan
penguatan disini adalah “Kegel exercise”. Untuk melakukan latihan
Kegel ini, kontraksikan perineum (terletak antara vagina dan anus)
kemudian lepaskan. Gerakan ini seperti ketika anda menghentikan
keluarnya kencing.
Penguluran dan rileksasi
Sisihkan waktu juga untuk latihan penguluran dan rileksasi
selama kehamilan. Selalu hindari gerakan menyentak ketika
anda melakukan penguluran. Aturlah nafas anda dengan
menghirup dan meniupkannya secara pelan.
Ingatlah selalu untuk melakukan penguluran untuk seluruh
tubuh anda, terutama pada tendon Achilles untuk mencegah
terjadinya kram tungka. setelah bulan keempat, hindarilah
tidur terlentang atau miring ke sisi kanan ketika melakukan
latihan atau rileksasi. Posisi ini akan membatasi aliran darah ke
uterus. Posisi tidur yang terbaik adalah miring ke sisi kiri.
Perhatian khusus
Latihan untuk menjadi seorang ibu dibutuhkan untuk
menghindari penggunaan yang berlebihan. Batasilah latihan anda
untuk tidak lebih dari 15 menit setiap kali melakukannya. Pakailah
sepatu penyangga dan lihat permukaannya dengan hati-hati untuk
menghindari adanya kehilangan keseimbangan anda dan
menciderai diri anda sendiri. Carilah tempat yang sejuk untuk
melakukan latihan ini, seperti di mall atau klub kesehatan.
Minumlah air secara cukup sebelum, selama, dan setelah latihan
untuk menghindari dehidrasi. Minnumlah air minimal delapan
gelas setiap hari dan, ketika bekerja, minumlah beberapa gelas lagi
untuk mengisi lagi cairan yang hilang. Jangan mengikuti aktifitas,
seperti olah raga bola, yang dapat beresiko untuk menciderai area
perut anda. Tubuh anda membutuhkan energi lebih dari makanan
secala kehamilan. Wanita hamil secara normal membutuhkan
lebih dari 300 kalori daripada sebelum hamil. Ketika anda latihan,
anda harus mengkonsumsi kalori untuk mengganti kalori yang
anda baker.
Latihan dapat membantu anda untuk menjaga imej pribadi yang
positif dan kesehatan fisik selam waktu ini. Ini dapat membantu
anda untuk bisa mengontrol tubuh anda dan datap membuat
kehamilan anda sedikit lebih mudah. Lakukanlah latihan secara
kontinyu selama anda hamil, dan setelah habis melahirkan
Stimulasi Motorik Halus Bayi
Bayi 1 bulan.
Fakta: Refleks genggam masih nampak tetapi, menjelang akhir
bulan, refleks ini berkurang dan melemah.
Stimulasi:
Baringkan bayi dalam keadaan tengkurap atau terlentang. Beri
rangsang pada telapak tangannya dengan menyentuhkan kedua
telunjuk Anda. Biarkan ia menggenggam dan lalu tarik kedua
tangannya. Rangsang ini menguatkan jari-jemarinya.
Bayi 1 – 3 Bulan.
Fakta: Memasuki bulan kedua tangan masih sering mengepal,
tetapi sudah lebih lentur. Di bulan ketiga jemari lebih banyak
berada dalam keadaan terbuka.
Stimulasi:
Saat sedang menyusui atau dalam keadaan inaktif (tidak sedang
melakukan sesuatu) Anda bisa memberi latihan dengan membuka
kepalan tangannya melalui sentuhan lembut. Sambil menyanyi
tentang jari, Anda bisa menyentuh jemari satu persatu lalu buka
atau luruskan. Pijatan lembut pada jemari akan sangat menolong.
Anda juga bisa memanfaatkan mainan lembut untuk menarik
perhatiannya dan “memancingnya” bereaksi. Pilih mainan yang
memiliki beragam tekstur dan mengeluarkan bunyi menarik.
Bayi 3 – 6 Bulan.
Fakta: Bayi mulai menggunakan jemari untuk bereksplorasi, salah
satunya dengan mengamati sekeliling dan dirinya sendiri.
Stimulasi:
- Untuk melatih jemarinya agar lebih terampil memegang,
sediakan mainan yang mudah digenggam, seperti mainan gigit
(biting ring) atau mainan bergemerincing (rattle) dalam berbagai
bentuk menarik serta ukuran sesuai genggamannya.
- Baringkan bayi dalam posisi terlentang lalu bermainlah dengan
jemarinya. Biarkan ia mempelajari, apa yang bisa dilakukan
dengan jari-jemarinya.
- Sediakan mainan gantung pada boks tidur, carseat, bouncing
chair atau stroller. Latihlah ia meraih dan memegang beragam
tekstur bahan. Kini tersedia mainan gantung atau buku bayi yang
membantu Anda melatih
Bayi 6 – 9 Bulan.
Fakta: Bayi sudah bisa memegang benda, dan
mulai memindahkan benda-benda.
Stimulasi:
- Dukunglah perkembangan barunya dengan memberi
kesempatan si kecil makan sendiri. Sediakan finger food seukuran
genggaman anak, misalnya wortel rebus atau biskuit bayi khusus
masa tumbuh gigi (teething).
- Berikan mainan yang mendukung bayi “latihan” memukul atau
membanting. Misalnya, drum bayi yang biasanya mengeluarkan
musik dan aneka suara.
- Beri anak latihan dengan beragam buku bayi menarik, terutama
yang merangsang jemarinya untuk mulai menjepit benda tipis.
- Apabila bayi Anda nampak masih kurang aktif menggunakan
jemarinya, bersabarlah. Anak tertentu berkembang lebih dulu
motorik kasarnya, dibandingkan motorik halus. Beri pijatan lembut
dan perbanyak benda yang aman untuk diraih dan dipegangnya.
Bayi 9 – 12 Bulan.
Fakta: Gerakan jemari bayi kini lebih halus. Bayi usia 9 - 12
bulan, gemar menumpuk-numpuk benda, seperti bantal, balok
dan lainnya. Di sekitar usia 10 bulan, sebagian besar bayi masuk ke
sebuah fase baru perkembangan motorik halus. Ia sudah bisa
menjepit dengan jemari, benda yang kecil dan tipis. Demikian pula
menekan-nekan tombol pada telepon mainan. Kekuatan jemarinya
pun semakin berkembang.
Stimulasi:
- Dukunglah perkembangan dengan kesempatan yang lebih luas
saat makan. Apabila sebelumnya ia hanya mampu
menggenggam biskuit dengan seluruh jarinya, ajaklah bayi
makan biskuit tipis, roti atau kismis sendiri. Biarkan ia melatih
gerakan koordinasi jemari dengan tangannya.
- Perlihatkan cara mengambil mainan dari dalam toples atau boks
mainan. Lalu beri ia kesempatan mengulang-ulang kegiatan ini
sendiri sampai ia mahir.
- Latihan mengambil dan menyusun balok juga membantu bayi
mengembangkan keterampilan motorik halus.
- Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan latihan jemari bayi,
cermati keamanan mainan dan makanan. Jauhkan bayi dari benda
yang terlalu kecil tanpa pengawasan. Senantiasa berikan makanan
dan mainan yang memang diperuntukkan sesuai usia anak.
LATIHAN PENGULURAN OTOT LEHER
Ditulis oleh : Joko Santoso.Amf Physiotherapy of PT.GPM
GAMBAR 1
Lakukan gerakan mengulur otot-otot leher ke arah samping kanan secara perlahan-lahan dan rasakan pengulurannya, tahan garakan itu selama 8 – 10 hitungan. Kemudian kendurkan dan berganti kearah kiri, dengan gerakan dan aba-aba yang sama. Masing-masing (arah kanan dan kiri) lakukan pengulangan sebanyak 5 kali.
GAMBAR 2
Lakukan gerakan mengulur otot-otot leher ke arah depan ( menunduk ) secara perlahan-lahan dan rasakan pengulurannya, tahan garakan itu selama 8 – 10 hitungan. Kemudian kendurkan dan posisi kembali semula. lakukan pengulangan sebanyak 5 kali.
GAMBAR 3
Lakukan gerakan mengulur otot-otot leher dengan menengok/menoleh kearah kanan secara perlahan-lahan dan rasakan pengulurannya, tahan garakan itu selama 8 – 10 hitungan. Kemudian kendurkan dan berganti kearah kiri, dengan gerakan dan aba-aba yang sama. Masing-masing (arah kanan dan kiri) lakukan pengulangan sebanyak 5 kali.
Latihan sederhana diatas sangat berguna untuk mengatasi keluhan-keluhan yang sering terjadi di leher. Latihan tersebut juga berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot leher. Lakukan latihan diatas minimal 2x sehari, dilakukan sebelum aktifitas dan sesudah aktifitas.
Mobilisasi Sendi Bahu
Tujuan mobilisasi sendi untuk mengembalikan fungsi sendi yang normal tanpa nyeri pada waktu melakukan aktivitas gerak sendi. Secara mekanik tujuannya untuk memperbaiki “joint play movement” melalui mekanisme gerak arthrokinematik yang benar.
Secara biomekanik gerakan suatu sendi akan mengikuti pola gerak arthrokinematik dan arteokinematik. Pada sendi bahu yang merupakan sendi yang sangat komplek selalu mengikuti maka mobilisasi sendi juga dipengaruhi oleh struktur sendi yang lain dalam mempertahankan mobilitasnya yang normal.
Sendi yang terlibat pada gerakan bahu tercakup dalam komponen shoulder girdle, sehingga untuk memobilisasi sendi bahu juga melibatkan sendi lain misalnya acromio clavicular, sternoclavicular dan cervico thoracal serta costo scapular. Disisi lain peran otot juga sangat menentukan mobilisasi sendi bahu, misalnya otot deltoideus, rotator cuff dan otot lain di sekitar sendi bahu.
Pada kondisi tertentu nyeri bahu dapat terjadi oleh karena factor muskuler yang secara tidak langsung apabila otot tersebut mengalami patologi akan menekan struktur vaskuler dan persyarafan yang melintasi sendi bahu misalnya pada kondisi scalmi sindrom, pectoralis sindrom yang sering disebut TOC. Sindroma nyeri bahu sangat luas, apabila dikaji secara holistic, sehingga untuk membatasi pengertian mobilisasi disini hanya akan dibahas tentang mobilisasi artikuler yang berkaitan dengan (1) mekanisme joint play yaitu roll-gliding dan traksi serta (2) mobilisasi muskuler pada otot postural yang ikut mempengaruhi mobilitas sendi bahu.
Sebelum melakukan mobilisasi sendi bahu maka harus dipahami tentang pengertian permukaan sendi concave dan convex sebgai dasar artrokinetik. Pada sendi bahu, glenohumeral berpermukaan convex sedang cavitas glenoidalis bersifat concave. Gliding akan berlawanan dengan arah gerak tulang (osteokinetik). Sedang sendi yang berpermukaannya concave maka arah gliding (sliding) searah dengan tulang yang bergerak.
Traksi pada sendi bahu ke arah lateral, ventral cranial atau tegak lurus dengan permukaan sendi pada posisi maximal loose packed position. Pelaksanaan traksi tujuan terapi bias ke segala arah menurut daerah keterbtasan sendi.
TREATMENT RULES:
Sebelum melakukan terapi menggunakan teknik-teknik mobilisasi manual (manual terapi), ada aturan-aturan (treatment rules) yang harus diketahui terlebih dahulu oleh terapis, yaitu:
1.Posisi pasien
Pasien diposisikan enal & nyainan schingga otot-ototnya nicks. Sendi diposisikan pada resting position (MLPP) atau actual resting position. Tulang pembentuk sendi bagian pioksinial difiksasi.
Secara biomekanik gerakan suatu sendi akan mengikuti pola gerak arthrokinematik dan arteokinematik. Pada sendi bahu yang merupakan sendi yang sangat komplek selalu mengikuti maka mobilisasi sendi juga dipengaruhi oleh struktur sendi yang lain dalam mempertahankan mobilitasnya yang normal.
Sendi yang terlibat pada gerakan bahu tercakup dalam komponen shoulder girdle, sehingga untuk memobilisasi sendi bahu juga melibatkan sendi lain misalnya acromio clavicular, sternoclavicular dan cervico thoracal serta costo scapular. Disisi lain peran otot juga sangat menentukan mobilisasi sendi bahu, misalnya otot deltoideus, rotator cuff dan otot lain di sekitar sendi bahu.
Pada kondisi tertentu nyeri bahu dapat terjadi oleh karena factor muskuler yang secara tidak langsung apabila otot tersebut mengalami patologi akan menekan struktur vaskuler dan persyarafan yang melintasi sendi bahu misalnya pada kondisi scalmi sindrom, pectoralis sindrom yang sering disebut TOC. Sindroma nyeri bahu sangat luas, apabila dikaji secara holistic, sehingga untuk membatasi pengertian mobilisasi disini hanya akan dibahas tentang mobilisasi artikuler yang berkaitan dengan (1) mekanisme joint play yaitu roll-gliding dan traksi serta (2) mobilisasi muskuler pada otot postural yang ikut mempengaruhi mobilitas sendi bahu.
Sebelum melakukan mobilisasi sendi bahu maka harus dipahami tentang pengertian permukaan sendi concave dan convex sebgai dasar artrokinetik. Pada sendi bahu, glenohumeral berpermukaan convex sedang cavitas glenoidalis bersifat concave. Gliding akan berlawanan dengan arah gerak tulang (osteokinetik). Sedang sendi yang berpermukaannya concave maka arah gliding (sliding) searah dengan tulang yang bergerak.
Traksi pada sendi bahu ke arah lateral, ventral cranial atau tegak lurus dengan permukaan sendi pada posisi maximal loose packed position. Pelaksanaan traksi tujuan terapi bias ke segala arah menurut daerah keterbtasan sendi.
TREATMENT RULES:
Sebelum melakukan terapi menggunakan teknik-teknik mobilisasi manual (manual terapi), ada aturan-aturan (treatment rules) yang harus diketahui terlebih dahulu oleh terapis, yaitu:
1.Posisi pasien
Pasien diposisikan enal & nyainan schingga otot-ototnya nicks. Sendi diposisikan pada resting position (MLPP) atau actual resting position. Tulang pembentuk sendi bagian pioksinial difiksasi.
2.Posisi terapis
Terapis harus menggtinakan prinsip-prinsip ergonomis dan berdiri atau memposisikan din sedekat rnungkin dengan pasien. Kedua kaki/tungkai melebar agar stabil. Apabila memungkinkan gunakan pengaruh gravitasi atau berat tubuh untuk mendorong atau menarik.
3.Fiksasi
Untuk memfiksasi bagian tubuh tertentu bisa digunakan tangan terapis atau menggunakan sabuk atau dengan bantuan (difiksasi) orang lain. Fiksasi dilakukan sedekat mungkin (lengan ruang sendi tanpa menimbulkan nyeri).
Untuk memfiksasi bagian tubuh tertentu bisa digunakan tangan terapis atau menggunakan sabuk atau dengan bantuan (difiksasi) orang lain. Fiksasi dilakukan sedekat mungkin (lengan ruang sendi tanpa menimbulkan nyeri).
4.Tangan terapis yang aktif/bergerak
Tangan terapis memegang bagian tubuh sedekat mungkin dengan ruang sendi untuk digerakkan. Untuk menghindari nyeri kadang-kadang perlu merubah pegangan.
Tangan terapis memegang bagian tubuh sedekat mungkin dengan ruang sendi untuk digerakkan. Untuk menghindari nyeri kadang-kadang perlu merubah pegangan.
5.Arah Gerakan
Arah gerakan translasi selalu tegak lurus atau sejajar dengan bidang terapi. Gerakan tegak lurus terhadap dan ke arah bidang terapi disebut traksi dan traksi ini dilakukan untuk mengurangi nyeri maupun sebagai traksi-mobilisasi untuk memperbaiki mobilitas sendi.
Traksi untuk mengurangi nyeri dilakukan pada posisi MLPP atau apabila tidak memungkinkan maka diposisikan pada aktual resting position. Traksi-mobilisasi dan glide-mobilisasi harus dilakukan tanpa menimbulkan nyeri. Terapi untuk kekakuan sendi selalu diawali dengan traksi-mobilisasi, dan apabila memungkinkan bisa diberi modalitas fisioterapi yang lain untuk mengurangi nyeri misalnya; panas, dingin ataupun stimulasi elektris. Apabila terapi pertama tersebut ada perbaikan maka dilanjutkan dengan pemberian glide-mobilisasi ke arah gerakan yang terbatas.
Arah gerakan translasi selalu tegak lurus atau sejajar dengan bidang terapi. Gerakan tegak lurus terhadap dan ke arah bidang terapi disebut traksi dan traksi ini dilakukan untuk mengurangi nyeri maupun sebagai traksi-mobilisasi untuk memperbaiki mobilitas sendi.
Traksi untuk mengurangi nyeri dilakukan pada posisi MLPP atau apabila tidak memungkinkan maka diposisikan pada aktual resting position. Traksi-mobilisasi dan glide-mobilisasi harus dilakukan tanpa menimbulkan nyeri. Terapi untuk kekakuan sendi selalu diawali dengan traksi-mobilisasi, dan apabila memungkinkan bisa diberi modalitas fisioterapi yang lain untuk mengurangi nyeri misalnya; panas, dingin ataupun stimulasi elektris. Apabila terapi pertama tersebut ada perbaikan maka dilanjutkan dengan pemberian glide-mobilisasi ke arah gerakan yang terbatas.
6.Indikasi Traksi dan Gliding
Traksi:
Grade I:
- Untuk mengurangi nyeri
- Selalu digunakan pada saat melakukan glide-mobilisasi
Grade II:
- Untuk mengurangi nyeri (the slack is not completely taken-up)
- Untuk tes joint play movement (traction-test)
Grade III:
- Untuk menambah mobilitas sendi (traksi-mobilisasi)
- Untuk tes joint play movement (traction-test)
Gliding:
Grade II:
- Untuk tes joint play movement (glide-test)
Grade III:
- Untuk menambah mobilitas sendi (glide-mobilisasi)
- Untuk tes joint play movement (glide-test)
Traksi:
Grade I:
- Untuk mengurangi nyeri
- Selalu digunakan pada saat melakukan glide-mobilisasi
Grade II:
- Untuk mengurangi nyeri (the slack is not completely taken-up)
- Untuk tes joint play movement (traction-test)
Grade III:
- Untuk menambah mobilitas sendi (traksi-mobilisasi)
- Untuk tes joint play movement (traction-test)
Gliding:
Grade II:
- Untuk tes joint play movement (glide-test)
Grade III:
- Untuk menambah mobilitas sendi (glide-mobilisasi)
- Untuk tes joint play movement (glide-test)
7.Traksi untuk Mengurangi Nyeri
Sendi yang terasa nyeri pertama-tama harus diterapi dengan traksi. Biasanya digunakan traksi intermittent (grade I atati II) dengan interval 10 detik. Traksi dilakukan pelan-pelan, kemudian dengan pelan-pelan pula traksi dilepaskan sehingga sendi kembali ke posisi awal. Setelah sendi istirahat beberapa detik, prosedur di atas diulangi kembali.
Amplitudo, durasi dan frekuensi gerakan sendi yang pasti sangat bervariasi tergantung pada respon pasien terhadap terapi tersebut. Terapis harus pandai-pandai memodifikasi teknik yang digunakan berdasarkan respon subjektif pasien terhadap terapi yang diberikan.
Sendi yang terasa nyeri pertama-tama harus diterapi dengan traksi. Biasanya digunakan traksi intermittent (grade I atati II) dengan interval 10 detik. Traksi dilakukan pelan-pelan, kemudian dengan pelan-pelan pula traksi dilepaskan sehingga sendi kembali ke posisi awal. Setelah sendi istirahat beberapa detik, prosedur di atas diulangi kembali.
Amplitudo, durasi dan frekuensi gerakan sendi yang pasti sangat bervariasi tergantung pada respon pasien terhadap terapi tersebut. Terapis harus pandai-pandai memodifikasi teknik yang digunakan berdasarkan respon subjektif pasien terhadap terapi yang diberikan.
8.Mobilisasi Sendi untuk Menambah Mobilitas (pada kekakuan sendi)
Traksi-mobilisasi grade III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi karena dapat meregang (stretch) jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi-mobilisasi dipertahankan selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesuai dengan toleransi pasien. Antara dua traksi yang dilakukan, traksi tidak perlu dilepaskan total ke posisi awal melainkan cukup diturunkan ke grade II dan kemudian lakukan traksi grade III lagi. Prosedur tersebut dilakukan berulang-ulang.
Glide-rnobilization grade III yang dilakukan ke arah gliding yang terbatas juga efektif untuk meregang jaringan yang menghambat gerakan. Dalam melakukan glide-inobilisasi ini selalu disertai dengan traksi grade I yang tujuannya untuk menetralisir gaya kompresi yang ada dalam sendi sehingga mempermudah terjadinya gliding.
Apabila problemnya hanya gerakan gliding terbatas maka traksi maupun gliding yang di lakukan adalah inermittent dan waktunya relatif pendek. Apabila terdapat jaringan lunak memendek maka diperlukan regangan yang dipertahankan dalam waktu satu menit atau lebih.
Traksi-mobilisasi grade III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi karena dapat meregang (stretch) jaringan lunak sekitar persendian yang memendek. Traksi-mobilisasi dipertahankan selama 7 detik atau lebih dengan kekuatan maksimal sesuai dengan toleransi pasien. Antara dua traksi yang dilakukan, traksi tidak perlu dilepaskan total ke posisi awal melainkan cukup diturunkan ke grade II dan kemudian lakukan traksi grade III lagi. Prosedur tersebut dilakukan berulang-ulang.
Glide-rnobilization grade III yang dilakukan ke arah gliding yang terbatas juga efektif untuk meregang jaringan yang menghambat gerakan. Dalam melakukan glide-inobilisasi ini selalu disertai dengan traksi grade I yang tujuannya untuk menetralisir gaya kompresi yang ada dalam sendi sehingga mempermudah terjadinya gliding.
Apabila problemnya hanya gerakan gliding terbatas maka traksi maupun gliding yang di lakukan adalah inermittent dan waktunya relatif pendek. Apabila terdapat jaringan lunak memendek maka diperlukan regangan yang dipertahankan dalam waktu satu menit atau lebih.
9.Evaluasi
Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah terapi, bahkan harus selalu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk terapi permulaan biasanya diberikan traksi -mobilisasi sebanyak 10 kali. Apabila tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan maka terapi bisa ditambah dengan glide-mobilisasi. Apabila pasien merasakan nyeri maka harus dilakukan evalusi secara hati-hati sebelum terapi dilanjutkan. Apabila setelah dilakukan mobilisasi berulang-ulang tidak didapatkan perbaikan maka terapi (dengan manual terapi) untuk hal ini dihentikan.
Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah terapi, bahkan harus selalu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk terapi permulaan biasanya diberikan traksi -mobilisasi sebanyak 10 kali. Apabila tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan maka terapi bisa ditambah dengan glide-mobilisasi. Apabila pasien merasakan nyeri maka harus dilakukan evalusi secara hati-hati sebelum terapi dilanjutkan. Apabila setelah dilakukan mobilisasi berulang-ulang tidak didapatkan perbaikan maka terapi (dengan manual terapi) untuk hal ini dihentikan.
10.Tujuan Mobilisasi Sendi
Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play dan dengan demikian memperbaiki roll-gliding yang teijadi selama gerakan aktif. Terapi harus diakhiri apabila sendi sudah mencapai LGS maksimal tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerak aktjf dengan normal.
Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dan tanpa nyeri. Secara mekanis, tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play dan dengan demikian memperbaiki roll-gliding yang teijadi selama gerakan aktif. Terapi harus diakhiri apabila sendi sudah mencapai LGS maksimal tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerak aktjf dengan normal.
Pelaksanaan Manual Terapi Regio Bahu:
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
KLIK gambar untuk memperbesar
Langganan:
Postingan (Atom)